Mikaila, dia adalah istri baru suamiku. Posturnya menarik, dengan tidak terlalu tinggi dan badannya berisi. Kulitnya putih bersih, rambut hitam berombak, serta bola mata hitam.
Tetapi, di mataku dia sama sekali tidak menarik karena wajahnya tidak ekspresif. Mikaila juga butuh terlalu banyak waktu sebelum menjawab apapun yang ditanyakan kepadanya. Tampak terlalu banyak pikir, meskipun pertanyaannya adalah: apakah kau dan anakmu sudah makan siang?
Sebelum menikah dengan suamiku, Mikaila memang pernah bersuami. Namun saat kelahiran anak pertamanya, dia ditinggalkan begitu saja, demi wanita lain.Â
Dulu, saat pertama kali mendengar rencana suamiku menikah lagi, aku mengajaknya berbicara secara terbuka. Sebagai istri, tentu aku menolak keinginannya ini. Aku merasa tersakiti, dan ingin mencari sebuah keadilan dari jawaban suamiku. Namun ternyata niatnya menikahi Mikaila, sudah tidak dapat dibendung lagi.Â
"Jangan khawatir. Ayah akan tetap menyayangi keluarga kita."Â
"Apa alasan Ayah ingin menikah lagi?"
"Ayah kasihan pada Mikaila dan anaknya. Hanya itu."
"Ayah..."
"Ini sudah menjadi keputusan ayah. Sudah, ayah ingin istirahat!"
Hanya itu yang kudapatkan. Rasanya sangat menyakitkan mendapat pengabaian ini. Suamiku harus peduli dengan nasib Mikaila dan anaknya, tanpa memikirkan apakah setelah itu aku akan baik-baik saja, atau tidak. Apakah aku benar-benar bisa menerimanya lahir dan batin, atau tidak.