"Kau memang pembunuh! Tidak ada orang yang percaya padamu! Iblis pun tidak akan tega menghilangkan nyawa ibunya sendiri!"
Kalimat menghujat itu terus kudengar, bahkan dari balik pagar kayu rumah ibu saat orang-orang itu lewat berjalan kaki. Setiap kali mereka mengatakannya, seperti ada yang menusuk kepalaku sampai begitu ngilu.Â
Aku mengurungkan niatku untuk memetik beberapa kuntum melati yang dulu ditanam ibu, dan memutuskan masuk rumah dengan langkah terburu-buru. Sesampainya di dalam, aku mengintip si pemilik suara. Perasaanku begitu cemas, hingga tanpa sadar menahan napas seperti maling.Â
Mereka sudah pergi. Syukurlah!Â
Biasanya mereka memanggil-manggil namaku dengan embel-embel yang buruk di belakangnya. Mereka tidak pernah bosan melontarkan hujatan dan menganggap aku sudah membunuh ibu.
Aku terduduk di lantai.Â
Rasanya sedih sekali karena kondisi seperti ini terus terjadi, bahkan setahun setelah ibu tiada. Entah kemana aku harus mengadu.Â
Seandainya ibu masih ada, orang-orang itu pasti tidak akan menuduhku melakukannya. Tidak ada yang tahu tentang kematian seseorang.
Demi Tuhan, aku merawat ibu sakit dengan sepenuh hatiku. Kedua adikku, Mey dan Tio tidak sabar menghadapi kerasnya hati ibu. Sedangkan aku, kupilih mengalah dan menahan diri saat berada di dekat ibu.Â
Ibu adalah wanita yang melahirkan kami ke dunia. Merawat kami dengan penuh kasih sayang. Bagi ibu, anak-anaknya laksana permata yang sangat berharga.
Aku maklum dengan keadaan ibu saat itu. Mungkin beliau merasakan sakit yang teramat sangat sehingga keseimbangan emosinya hilang. Mungkin ibu sangat menderita dengan jadwal cuci darah dua kali seminggu. Semua itu pasti terasa berat bagi ibu.