Tidak dipungkiri, cerita fiksi selalu melibatkan subjektivitas atau selera penulisnya. Dia akan bebas memilih genre cerita, tema yang diingini, karakter yang dikehendaki, termasuk koda atau penutup yang disukai.
Begitu pula saya sebagai penulis cerpen, lebih sering menutupnya dengan akhir yang menggantung. Alasannya, cerpen tersebut justru akan terasa indah jika pembaca sendirilah yang memberikan interpretasinya.
"Engga lah, Bu. Pembaca justru baru merasa lega setelah tahu si tokoh cerita akhirnya bagaimana. Justru ngga enak kalau nebak-nebak sendiri...." sanggah anak kami. Wajahnya tampak bersungut-sungut.
"Ada rasa sakit hati lah Bu, kalau ceritanya digantung begitu..." imbuhnya lagi.
Wow, wow, wow! Mudah-mudahan ini hanya pendapat anak kami saja.
"Ya..., kita sebagai pembaca baper lah Bu. Kita sudah masuk ke dalam cerita yang dibaca!"Â
Saya jadi berpikir-pikir. Apa iya? Jadi baper?
Seberapa penting amanat dalam cerpenÂ
Kalau diingat kembali, siswa sekolah selalu diberi tugas mencari amanat cerita, baik pada zaman saya masih duduk di bangku SD dan SMP, sampai pada era anak kami sekarang.
Mengapa siswa diajarkan untuk menemukan amanat atau pesan dari sebuah cerita? Saya mempunyai beberapa jawaban.
1. Siswa dilatih menemukan misi/tujuan si penulis
2. Siswa menajamkan kepekaan terhadap ajakan atau imbauan penulisÂ