Di kesempatan lainnya, kamu dan Windu kembali mempelajari bagaimana merangkai huruf menjadi suku kata. Kamu hampir tak percaya ternyata persahabatan bisa semenarik ini.Â
Meski begitu, ternyata Windu tidak sepolos yang kamu pikirkan. Persahabatan dengannya mengajarkan hal yang tidak kamu sadari selama ini.
Mulanya kamu terpesona akan keindahan desa tempat Windu tinggal. Dan membayangkan betapa beruntungnya orang-orang yang hidup di sana. Mereka dapat menikmati udara sejuk dan kicauan burung setiap saat.Â
Sementara di kota, para penduduk harus terpapar polusi dan emisi lainnya. Pada siang hari, jalan-jalan kota seperti terpanggang. Sementara pada malam hari, udara terasa pengap dan menyebabkan susah tidur.
Mendengar itu, dia memandangmu dengan tatapan nelangsa. Wajahnya seakan bertanya, bagaimana penduduk kota bisa bertahan dengan keadaan seperti itu?
Desa itu berada di antara lembah dan danau yang biru. Tumbuhan dan hewan yang kamu jumpai, memang tampak sangat lestari.
Di sekolah, sebenarnya kamu tidak begitu berminat ketika Bu Ani menerangkan materi pelajaran Biologi. Kamu lebih menyukai jam pelajaran Seni Budaya dan Prakarya, atau Matematika.
"Alam yang indah, butuh dirawat dan dijaga. Kalau tidak, dia akan kering dan mati," kata gadis itu.
"Ini seperti timbal balik?"Â
Gadis itu mengangguk. "Jika sebagian dari tumbuhan atau hewan itu punah, maka yang lainnya akan merana..."
"Sungguh?"