Ini adalah tahun pernikahan satu dasa warsa. Orang-orang mulai bosan bertanya kapan kami punya anak.
Sepulang bekerja yang kami lakukan hanyalah menonton tv, membaca buku, atau saling beradu kisah. Hari Minggu atau libur tanggal merah di kalender, kami mengunjungi keluarga atau bahkan piknik berdua mendekat ke alam bebas.
Hmm, ternyata tidak sesederhana itu melakukan hal yang sama selama sepuluh tahun. Mulai dari hubungan yang mesra, cekcok kecil sampai semuanya kadang terasa hambar.
Baca juga: Minggu yang Terlalu Panjang
Entah di tahun keberapa, akhirnya aku dan Wina menyadari ini adalah ujian rumah tangga kami.Â
Kami tidak diuji dengan perselingkuhan yang berakhir dengan perceraian. Atau aset yang terjual satu per satu untuk biaya berobat anak satu-satunya.Â
Kami justru diuji dengan ketiadaan anak di tengah-tengah kami. Sang Kuasa ingin tahu, apakah kami bisa menjaga cinta yang sudah kami ikrarkan bersama.
Begitulah.Â
Dulu kami tergabung dalam komunitas pejuang garis dua, dimana anggotanya saling memberikan dukungan. Beberapa di antaranya sudah berhasil memiliki momongan. Salah satunya pasangan Mail dan Ratih, mereka mendapatkan kegembiraan setelah empat belas tahun menunggu.
Tapi setelah aku dan Wina dapat menerima takdir ini dengan lapang dada, kami memutuskan keluar dari komunitas dan memilih menjalani hari-hari kami secara alami.
Saat itu kami sudah menemukan solusi, bagaimana rumah tangga yang hanya beranggotakan kami berdua, dapat berjalan normal. Tidak ada lagi saling menyalahkan, atau berpikir salah satu dari kami memiliki gangguan organ reproduksi, atau mulai mencarikan pasangannya istri baru.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!