Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku Rindu Mama

28 Agustus 2022   20:00 Diperbarui: 28 Agustus 2022   20:01 756
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: cover mentahan dari Pinterest/leeetae

Nayla, nama yang bagus. Tapi sayang, sejak masuk kosan, hatinya tak karuan. Rasa canggung, gugup, takut, tak percaya pada diri sendiri, apalagi teman.

Nayla dan aku bersebelahan kamar. Untungnya dia mau percaya padaku. 

Kemudian, kami menemukan kecocokan satu sama lain. Saat aku menghibur hatinya, dia mau mendengarkan. Saat aku kelaparan, dia ringan memesan makanan. Selera kami pun mirip.

Sebenarnya masih ada tiga mahasiswi lain di sini. Faya, May, juga Dinda. Tapi Nayla hanya mau diajak keluar olehku. Sebabnya itu tadi, dia percaya pada teman sepertiku.

Baca juga: Musim Rindu

Kalau mau ditelusuri, sebenarnya kami bertolak belakang. Dia dari keluarga berada, dan punya saudara. Sementara aku hanya punya mama yang harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhanku.

Sebagai anak semata wayang, aku sama sekali tak merasa dimanja. Jauh beda dengan Nayla. Sampai lulus SMU ibunya masih menyisir rambutnya, bahkan aku melihat sendiri ibunya masih memakaikan jaket sebelum kami berangkat ke kampus.

Sebaliknya, mama sudah mengajarkan bagaimana hidup mandiri dan disiplin sejak aku kecil. Aku tak punya papa, juga saudara, itu alasan yang selalu mama lontarkan. Aku harus menolong diri sendiri saat mama kerja.

Ibu Nayla sangat cantik, dan hatinya sangat baik. Aku melihatnya seperti bidadari yang menyamar menjadi manusia. Dan kepadaku, ibunya selalu menyapa penuh perhatian.

"Bagaimana kuliah hari ini, Nak Kesuma? Dosennya ada yang galak, nggak?"

"Ada sih, Tan," jawabku tersipu. "Tapi galaknya masih aman terkendali, kok..."

"Ibu mau bilang sama Pak Tiur jangan galak-galak, gitu?" Nayla keluar dari kamar mandi dan langsung nimbrung.

"Ya enggak lah... 

Tapi ibu ada saran lho, bagaimana menghadapi dosen yang karakternya killer begitu..." sang ibu tersenyum.

Begitulah, serasa dianggap anak sendiri, aku pun sering mendapat perhatian. Setiap kali ibu Nayla datang menengok pun, aku mendapat jatah makanan yang melimpah. Untuk itu, aku berusaha menjaga Nayla, seperti pesan ibunya.

Seorang anak dari keluarga yang hangat, hidup sangat berkecukupan, ketika menginjakkan kaki di kota besar, apakah harus sangat penakut seperti dia?

Itu curhatanku pada buku diary, demi melihat ibunya diminta menemani selama dua minggu, saat pertama masuk kosan. Agak berlebihan, menurutku.

Sepertinya mental orang dari desa sebagian memang begitu. Menyangka berbagai modus kejahatan bisa menimpa mereka. Bahkan untuk beli nasi di warteg, Nayla takut kenapa-kenapa.

Aku terheran-heran karena uang jajan bulanan Nayla mencapai tiga kali lipat biaya hidup Fay maupun Dinda. Semua serba dibeli melalui jasa pesan antar.

Pernah suatu kali dia harus mengambil contoh naskah reportase di rumah Bu Winda, dekan kami, dibonceng Kang ojol. Sepanjang jalan Nayla membaca doa dan berzikir karena perasaan takut. Takut nyasar, takut dibegal, takut diculik, takut diserempet, semuanya.

Kami bukan sekedar sahabat, aku sering memperhatikan gerak-geriknya. Ternyata dia tidak tahu bagaimana memotong kuku kakinya, dan tidak bisa membedakan antara jeruk nipis dan jeruk lemon lokal.

Dulu aku sering menangis karena mama tetap menyediakan sayur kol di meja makan. Padahal tidak semua orang suka dengan semua jenis sayuran kan? Aku tidak bisa mengunyah lembaran kol rebus yang kenyal, lalu menelannya dengan bantuan sambel kacang. Tapi mama masih saja mengharuskan aku mengambil walau hanya sedikit.

Aku juga sering diminta mama membantu memotong sayuran. Kalau mengupas kentang atau mematahkan kacang panjang menjadi tiga senti, aku mau. Tapi tidak untuk brokoli yang bagiku wujudnya mengerikan dan baunya membuat muntah. Mama bilang brokoli kaya akan anti oksidan. Hiks.

Setelah mengenal gadis itu, baru kurasakan betapa tidak enaknya kehilangan mama. Selama ini aku merasa bisa melakukan semuanya secara bebas. Ternyata aku salah, aku merindukan mama.

Tiba-tiba kenangan terakhir bersama mama berputar dalam ingatan. Saat mama sakit dan dirawat, mama berlinang air mata setiap kali memandangku dari dekat. Bahkan setelah saudara mama berjanji akan membiayai pendidikanku, mama masih saja sering menangis.

Sampai di saat-saat terakhir kehidupannya, mama menggenggam jemariku dan berbisik, "Jika Kesuma rindu mama, apa yang akan Kesuma lakukan?"

Waktu itu aku hanya menggeleng dan menjawab, "Ngga tau, Ma."

Sebenarnya saat itu aku tidak yakin akan merindukan mama. Mama selalu menekan agar aku rajin belajar, mengulang-ulang pelajaran, dan mengerjakan soal-soal latihan meskipun tidak ditugaskan oleh guru sekolah, waktu itu.

Mama terlihat puas saat aku meraih juara kelas, termasuk saat diumumkan sebagai juara umum.

Kupikir, sejak kecil aku tak merasakan kehadiran papa, dan aku baik-baik saja. Lalu kenapa aku harus dikasihani saat mama pergi selama-lamanya?

Dia menyadarkan betapa mama begitu berarti, bukan hanya sebagai pencari nafkah, tetapi karena mama adalah sumber kehidupanku. 

Ya. Aku pernah berdetak seirama jantung mama, saat berada dalam rahimnya. Dan saat aku menjadi korban bullying di sekolah, bahwa mama adalah wanita simpanan papa, mama juga yang menguatkan hatiku untuk tetap sekolah.

"Yuk, aku sudah siap," celetuk Nayla menghampiriku. 

Aku menggandeng tangan gadis itu meninggalkan kosan. Kami akan berziarah ke makam mama dan berdoa di sana. 

***

Kota Kayu, 28 Agustus 2022

Cerpen Ayra Amirah untuk Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun