"Ya enggak lah...Â
Tapi ibu ada saran lho, bagaimana menghadapi dosen yang karakternya killer begitu..." sang ibu tersenyum.
Begitulah, serasa dianggap anak sendiri, aku pun sering mendapat perhatian. Setiap kali ibu Nayla datang menengok pun, aku mendapat jatah makanan yang melimpah. Untuk itu, aku berusaha menjaga Nayla, seperti pesan ibunya.
Seorang anak dari keluarga yang hangat, hidup sangat berkecukupan, ketika menginjakkan kaki di kota besar, apakah harus sangat penakut seperti dia?
Itu curhatanku pada buku diary, demi melihat ibunya diminta menemani selama dua minggu, saat pertama masuk kosan. Agak berlebihan, menurutku.
Sepertinya mental orang dari desa sebagian memang begitu. Menyangka berbagai modus kejahatan bisa menimpa mereka. Bahkan untuk beli nasi di warteg, Nayla takut kenapa-kenapa.
Aku terheran-heran karena uang jajan bulanan Nayla mencapai tiga kali lipat biaya hidup Fay maupun Dinda. Semua serba dibeli melalui jasa pesan antar.
Pernah suatu kali dia harus mengambil contoh naskah reportase di rumah Bu Winda, dekan kami, dibonceng Kang ojol. Sepanjang jalan Nayla membaca doa dan berzikir karena perasaan takut. Takut nyasar, takut dibegal, takut diculik, takut diserempet, semuanya.
Kami bukan sekedar sahabat, aku sering memperhatikan gerak-geriknya. Ternyata dia tidak tahu bagaimana memotong kuku kakinya, dan tidak bisa membedakan antara jeruk nipis dan jeruk lemon lokal.
Dulu aku sering menangis karena mama tetap menyediakan sayur kol di meja makan. Padahal tidak semua orang suka dengan semua jenis sayuran kan? Aku tidak bisa mengunyah lembaran kol rebus yang kenyal, lalu menelannya dengan bantuan sambel kacang. Tapi mama masih saja mengharuskan aku mengambil walau hanya sedikit.
Aku juga sering diminta mama membantu memotong sayuran. Kalau mengupas kentang atau mematahkan kacang panjang menjadi tiga senti, aku mau. Tapi tidak untuk brokoli yang bagiku wujudnya mengerikan dan baunya membuat muntah. Mama bilang brokoli kaya akan anti oksidan. Hiks.
Setelah mengenal gadis itu, baru kurasakan betapa tidak enaknya kehilangan mama. Selama ini aku merasa bisa melakukan semuanya secara bebas. Ternyata aku salah, aku merindukan mama.
Tiba-tiba kenangan terakhir bersama mama berputar dalam ingatan. Saat mama sakit dan dirawat, mama berlinang air mata setiap kali memandangku dari dekat. Bahkan setelah saudara mama berjanji akan membiayai pendidikanku, mama masih saja sering menangis.
Sampai di saat-saat terakhir kehidupannya, mama menggenggam jemariku dan berbisik, "Jika Kesuma rindu mama, apa yang akan Kesuma lakukan?"