Hampir satu juta orang menanyakan, dimanakah letak Kota Kayu berada? Apakah itu sebuah kota dengan arsitektur bangunan terbuat dari bahan kayu seperti di Kanada sana? Ataukah sebutan untuk negeri para rayap yang suka berpesta pora di antara tumpukan kayu bekas?
Baiklah, sepertinya ini hari yang tepat untuk memberi penjelasan.Â
Jadi, Kota Kayu bukanlah negeri seperti yang mereka pikirkan. Kota Kayu adalah daerah kaya dengan 1.230 hektar hutan penghasil kayu Bengkirai dan 20 hektar hutan penghasil kayu Meranti.
Pada masa itu, berbondong-bondonglah orang dari berbagai penjuru mendatangi Kota Kayu. Mereka menawarkan tenaganya untuk bekerja di hutan produksi maupun pabrik-pabrik pengolahan kayu.Â
Begitulah, kemasyhuran Kota Kayu yang dikabarkan oleh burung-burung dan sampai ke telinga sebagian orang.Â
Terhitung jutaan dolar income yang telah dihasilkan hutan tropis yang mengelilingi Kota Kayu. Sebut saja Belgia, Jerman, Jepang, China, Belanda, dan Inggris, semua terpesona eksotisme kayu lokal berkualitas.
Kaum borjuis pun terlihat dimana-mana. Kekayaan melimpahi mereka dalam sekejab mata.
Tetapi pada masa itu tak semua orang benar-benar mendengar atau mengetahui tentang Kota Kayu.Â
Koran daerah yang terbit setiap hari, menyampaikan banyak berita namun tak sehebat informasi seperti saat ini. Belakangan orang-orang itu justru bertanya, dimana letak Kota Kayu berada?
Terkadang di antara mereka ada yang sudah menjejakkan kakinya, tanpa tahu itulah Kota Kayu yang termashur dan kaya.Â
Orang-orang itu hanya mengingat rumah hampir kumuh berderet di sepanjang bantaran sungai yang airnya berwarna seperti banjir.Â
Mereka lalu bertanya lagi, mengapa hanya sedikit penduduk asli yang membangun rumah mereka dari jenis kayu Ulin?
Aku tak kuasa menutupi wajah perekonomian masyarakat di Kota Kayu. Terpaksa kukatakan mereka bukanlah orang-orang dari golongan sejahtera, yang hanya mampu membeli limbah sisa dengan harga seadanya.
Orang-orang itu buru-buru bertanya lagi, bagaimana bisa?
Dengan lugas kukatakan bahwa penduduk asli memilih setia menjadi petani, bahkan ada yang rela menjadi buruh konstruksi saat gedung kantor dan hotel berbintang itu dibangun.
Hampir satu juta orang terdiam, kurang percaya mendengar jawabanku.
Aku bisa memaklumi. Di sisi lain, Kota Kayu ibarat magnet yang menarik pekerja pendatang dengan cerita gaji tinggi bla bla bla. Tidak heran semakin kesini Kota Kayu semakin penuh dengan orang-orang.Â
Mereka sengaja meninggalkan kampung halamannya dan memilih menetap di Kota Kayu. Membangun rumah (bak istana) yang jauh lebih mapan dan nyaman.Â
Begitulah, selama berpuluh-puluh tahun banyak orang menemukan kesuksesannya di Kota Kayu.Â
Sayang, segala kejayaan itu tak berlangsung hingga hari ini. Hutan telah diperlakukan tidak adil oleh pemangku jabatan dan orang-orang yang serakah. Julukan Kota Kayu kini berubah menjadi Kota Banjir!
Hampir satu juta orang terhenyak.Â
Mereka lalu buru-buru mencari dalam mesin peramban.
Benar saja. Julukan Kota Kayu tak lagi tertulis di sana. Di atas gawainya, orang-orang itu malah menemukan susunan huruf yang terbaca sebagai Kota Banjir. Serbuan air berwarna cokelat itu memang sering mengakrabi warga saat hujan turun.
Lebih memalukan lagi, mereka juga menemukan reels dalam grup Busam pada akun media sosialnya. Mata orang-orang itu tak berkedip, dan mulutnya terbuka.Â
Saat hujan turun, perempatan depan pusat perbelanjaan di Kota Kayu, tiba-tiba mirip empang di tengah kota!
Kini penduduk Kota Kayu bahkan merasa malu kepada tamu yang datang dari Pusat. Banjir yang melanda hampir seluruh daerah Kota Kayu, telah melubangi jalan-jalan di sana-sini.
Menaiki mobil paling mewah sekalipun, mereka tidak akan merasa nyaman.
Hampir satu juta orang menggeleng-gelengkan kepalanya, mungkin tak habis pikir sekaligus prihatin.
Mereka yang mendengarkan ceritaku kemudian berlalu satu demi satu, dan tersisa aku sendiri. Mirip hilangnya sebuah tempat bernama Kota Kayu.
"Maaf Bu," sapa petugas di Museum Kayu Tuah Himba yang kukunjungi.
"Kami sudah hampir tutup. Ibu bisa berkunjung lagi besok pukul sepuluh pagi..."
Rupanya sejak tadi aku melamun dan tidak menyadari orang-orang sudah sepi.
"Terima kasih, Pak..." kataku lalu beranjak.
***
Kota Kayu, 20 Juli 2022
Cerpen Ayra Amirah untuk Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H