Mereka lalu buru-buru mencari dalam mesin peramban.
Benar saja. Julukan Kota Kayu tak lagi tertulis di sana. Di atas gawainya, orang-orang itu malah menemukan susunan huruf yang terbaca sebagai Kota Banjir. Serbuan air berwarna cokelat itu memang sering mengakrabi warga saat hujan turun.
Lebih memalukan lagi, mereka juga menemukan reels dalam grup Busam pada akun media sosialnya. Mata orang-orang itu tak berkedip, dan mulutnya terbuka.Â
Saat hujan turun, perempatan depan pusat perbelanjaan di Kota Kayu, tiba-tiba mirip empang di tengah kota!
Kini penduduk Kota Kayu bahkan merasa malu kepada tamu yang datang dari Pusat. Banjir yang melanda hampir seluruh daerah Kota Kayu, telah melubangi jalan-jalan di sana-sini.
Menaiki mobil paling mewah sekalipun, mereka tidak akan merasa nyaman.
Hampir satu juta orang menggeleng-gelengkan kepalanya, mungkin tak habis pikir sekaligus prihatin.
Mereka yang mendengarkan ceritaku kemudian berlalu satu demi satu, dan tersisa aku sendiri. Mirip hilangnya sebuah tempat bernama Kota Kayu.
"Maaf Bu," sapa petugas di Museum Kayu Tuah Himba yang kukunjungi.
"Kami sudah hampir tutup. Ibu bisa berkunjung lagi besok pukul sepuluh pagi..."
Rupanya sejak tadi aku melamun dan tidak menyadari orang-orang sudah sepi.