Orang-orang itu hanya mengingat rumah hampir kumuh berderet di sepanjang bantaran sungai yang airnya berwarna seperti banjir.Â
Mereka lalu bertanya lagi, mengapa hanya sedikit penduduk asli yang membangun rumah mereka dari jenis kayu Ulin?
Aku tak kuasa menutupi wajah perekonomian masyarakat di Kota Kayu. Terpaksa kukatakan mereka bukanlah orang-orang dari golongan sejahtera, yang hanya mampu membeli limbah sisa dengan harga seadanya.
Orang-orang itu buru-buru bertanya lagi, bagaimana bisa?
Dengan lugas kukatakan bahwa penduduk asli memilih setia menjadi petani, bahkan ada yang rela menjadi buruh konstruksi saat gedung kantor dan hotel berbintang itu dibangun.
Hampir satu juta orang terdiam, kurang percaya mendengar jawabanku.
Aku bisa memaklumi. Di sisi lain, Kota Kayu ibarat magnet yang menarik pekerja pendatang dengan cerita gaji tinggi bla bla bla. Tidak heran semakin kesini Kota Kayu semakin penuh dengan orang-orang.Â
Mereka sengaja meninggalkan kampung halamannya dan memilih menetap di Kota Kayu. Membangun rumah (bak istana) yang jauh lebih mapan dan nyaman.Â
Begitulah, selama berpuluh-puluh tahun banyak orang menemukan kesuksesannya di Kota Kayu.Â
Sayang, segala kejayaan itu tak berlangsung hingga hari ini. Hutan telah diperlakukan tidak adil oleh pemangku jabatan dan orang-orang yang serakah. Julukan Kota Kayu kini berubah menjadi Kota Banjir!
Hampir satu juta orang terhenyak.Â