Mempunyai anak remaja, menjadi tantangan tersendiri bagi para orangtua. Terutama dari sisi perkembangan mental dan edukasi yang sekilas tampak tak begitu penting.Â
Terlalu banyak memberi kebebasan dalam bergaul, bisa berakibat tidak baik. Tetapi mengekang segala tindakan remaja, berarti juga menghalangi dia tumbuh dan berkembang.
Semboyan Tut Wuri Handayani yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara, pendiri Taman Siswa pada 1922 di Yogyakarta, masih relevan sebagai asas pendidikan nasional saat ini.
Berada di belakang anak, pamong, guru, pendidik, termasuk orangtua, memberikan ruang agar generasi muda mencari sendiri jalannya memahami ilmu, namun tetap menyiapkan diri mengawasi dan memberi dukungan.Â
Ini juga yang kami terapkan sebagai pola asuh dalam keluarga. Orangtua tidak bersikap kaku, tetapi memberi kebebasan namun juga memberikan arahan dan batasan.
Dr. Shimi Kang dalam bukunya tentang pola asuh, menganalogikan pola pengasuhan dalam tiga tipe: harimau, ubur-ubur, dan lumba-lumba.
Tipe lumba-lumba yang kami terapkan, memungkinkan anak melakukan eksplorasi, bermain, dan bergaul dalam bimbingan serta kontrol orangtua.
Dikatakan oleh Kang, lumba-lumba adalah hewan yang sangat penasaran, sangat komunikatif, dan memiliki sifat sosial tinggi. Dengan kata lain, anak-anak dalam pola pengasuhan ini mudah beradaptasi, suka bermain, tetapi tetap tangguh menghadapi tantangannya.
Ibu, bolehkah aku ikut Persami di sekolah?
Demikian anak sulung kami yang beranjak remaja meminta izin dengan membawa selembar surat dari penyelenggara kegiatan.