"Mama..." sebuah suara lembut mengalihkan perhatian wanita itu. Matanya bening, penuh tatapan kasih sayang, meski terlihat hampa.
"Sayang, sudah pulang sekolah?" ia menyambut putrinya dengan merentangkan kedua tangan. Mereka berdekapan, seakan ingin saling menguatkan.
Ara melepaskan pelukan, lalu mengangguk tanpa menjawab. Ditelusurinya wajah wanita yang sudah melahirkannya enam belas tahun lalu, yang akhir-akhir ini tampak berduka.
"Mama, kapan kita ke toko roti lagi. Sampai kapan mama mengurung diri di sini, dan membiarkan usaha mama terus merosot?"
Wanita itu hanya menatap. Ia mendapati kepiluan dalam nada suara putrinya. Gadis itu begitu belia, begitu murni, dan inilah harta yang sangat ingin ia lindungi.
Sudah enam bulan berjalan, sejak wanita itu mengetahui suaminya mendekati wanita lain. Laki-laki itu mulanya mengelak, mengaku tak sekalipun menjalin hubungan dengan wanita muda di luar sana. Tapi akhirnya ia melihat sendiri kenyataan paling menyakitkan.
Sejak itu ia lebih memilih mengurung dirinya di kamar, dan tak mempedulikan toko roti yang sedang ramai pesanan wedding tart. Bahkan menerima telepon dari kasir pun ia enggan.
Mengapa? kata itulah yang selalu ditanyakan putri tunggal mereka. Betapapun ia sayang kepada ayahnya, namun ibulah yang menjadi korban dan perlu pembelaan. Seorang anak harus membela ibu yang diselingkuhi tanpa alasan logis.
Tapi wanita itu mempunyai seribu jawaban yang belum dikatakannya. Ia tidak boleh gegabah dan mengumbar emosi atas permasalahan rumah tangganya. Ia terus menulis di halaman belakang buku jurnal tokonya.
Mungkin selama ini aku terlalu banyak keluar rumah dan meninggalkan suamiku, tulisnya paling pertama. Ya, wanita itu memulai pemikirannya dengan menyalahkan diri sendiri. Menganggap kalau dirinyalah akar permasalahan ini.