Saat itu, langit memang gelap. Tak satu pun bintang yang mengintip. Apalagi bulan, sedikitpun tak terlihat.
Dari pintu kecil pagar seng, aku masuk ke halaman gedung yang sedang dibangun. Aku masuk dengan cara biasa saja. Tidak menyelinap. Ingat ya!
Aku masuk ke pos jaga yang kosong, dua langkah saja dari pintu kecil. Ruangan gelap, hanya ada dua helm safety dan kursi plastik. Aku duduk di situ, bersembunyi dalam gelap.
Gedung itu baru empat bulan dikerjakan. Masih tampak kasar dan belum apa-apa. Sementara deadline diperpanjang satu bulan lagi.Â
Aku mendengar semua ini, saat konsultan dan mandor sering bertemu dan berdiskusi. Mulanya aku keluar masuk saat para pekerja sudah sepi dan tertidur di barak samping. Tapi setelah "kejadian itu", aku bisa leluasa berkeliaran kapan saja.
*
"Hei, siapa kamu?" hardik Tejo, security bertubuh tegap.
"Jo? Gelandangan itu datang lagi?" tanya Pak Juni yang kebetulan belum pulang. Meski Pak Juni memegang lima proyek sekaligus, bisa dibilang waktunya lebih banyak untuk mengontrol para pekerja di sini.
Aku masih mengintip dari balik tumpukan kayu bekas pakai. Berharap Tejo lebih tertarik memanaskan kopi di teko listrik, ketimbang mengusut keberadaanku.
"Heran Bos, cuma gelandangan itu yang sering masuk ke sini. Saya ngarepnya bidadari cantik yang datang, Bos," seloroh security itu sambil ngeloyor pergi.