Sebagai seorang ayah, naluriku cukup terluka mengenang putri kesayanganku satu-satunya. Walau pipi ini tak pernah dibasahi air mata, jauh di dasar hati aku kerap menangis sedih. Usia sepuluh tahun, belum memuaskan hati ini merawat dan memenuhi semua permintaannya.
Bulan Desember sudah menginjak hari ke delapan belas, saat itu. Sebentar lagi tahun yang baru akan menjelang. Harapan pun ikut lahir seiring bunga-bunga yang indah.Â
Tentang gadis kecil yang akan tumbuh jelita dan merawatku di hari tua. Atau paling tidak, ia bisa menggantikan kepergian ibunya. Mengusir kesepianku dengan senyum dan tawa manja setiap hari.
Hampir setiap sore hujan menyiram taman kota. Tak terkecuali hari ini. Begitu suasana kembali cerah, langit bersih, aku tak bisa lagi mengelak. Putriku minta ditemani bermain sepeda mini. Berputar kian kemari di antara bunga dan gerombolan kupu-kupu.
"Bukan Ayah, itu prajurit kupu-kupu. Bukan gerombolan..." protesnya saat itu. Aku tertawa. Begitu sayangnya ia pada serangga bersisik pemakan nektar itu.
Putriku itu, gadis paling tegar yang kutahu.Â
Pertama, ia kehilangan ibu sesaat setelah melahirkannya ke dunia. Tapi ia mampu bertahan sampai hari ulang tahunnya ke sepuluh terlewati. Kedua, ia tak pernah menangis, meski di dalam pelukanku ia bertanya bagaimanakah wajah ibunya? Ketiga, di ruang ICU di hari terakhir kehidupannya, ia memberiku senyum perpisahan tanpa setetes pun air mata. Dan mungkin aku adalah ayah paling cegeng.Â
Setiap kali rindu itu datang mendera, aku akan berlama-lama duduk di sini. Mencari gadis bunga dan prajurit kupu-kupu, di antara bangku taman yang basah. Gadis kecil yang sangat kukenal, yang tersenyum penuh rasa bahagia.Â
Tahun-tahun terus berlalu. Bulan Desember selalu datang bersama hujan dan harapan.
Bagaimanakah seorang ayah akan mengenali putrinya sendiri, bila ia sibuk bekerja?