"Lepaskan!" jerit wanita itu. "Saya tidak sudi menikah tanpa cinta. Itu sama dengan penjara!" ia berusaha memberontak dari dua lelaki yang mencengkeramnya.
Namanya Suci. Berkulit putih, berambut hitam dan halus, dan bibir merah alami. Siapa yang tak tertarik?
Pak Harun sudah lama menunda hasratnya, sebab Suci cukup sulit ditaklukkan. Inilah kesempatan yang ditunggu. Pucuk dicinta, ulam pun tiba.
"Hai Suci, lihatlah rumah ini. Kau pasti bahagia menjadi istri saya..." sahut Pak Harun gagah. Tawanya membahana, membuat Suci makin mual.
"Saya mohon..." Suci memelas. "Saya punya anak yang menunggu di rumah. Pak Harun bebas memilih gadis yang lebih muda dan lebih cantik..."
Laki-laki tua yang disebut Pak Harun menyeringai. Bukannya sependapat dengan tawanannya, ia justru tambah penasaran. Derai air mata wanita di depannya tak ia hiraukan. Sekilas ia memberi kode pada anak buahnya, sebelum membalikkan badan, masuk ke dalam rumah.Â
Senja berjatuhan di tengah Jakarta. Suci menyaksikannya, nanar di balik kaca jendela. Apa yang bisa dilakukannya di kamar yang terkunci, kecuali memendam amarah.
"Mbak Suci, silahkan makan malamnya..." seorang perempuan berseragam membuka pintu dengan nampan di tangan. Aroma daging dengan bumbu rempah melimpah, memenuhi ruangan. Tapi gagal mengundang selera Suci.
"Mbak, tolong bantu saya keluar dari rumah ini. Kasihan anak saya..."
Si Mbak menatap ke titik matanya. Wanita cantik yang malang, pikirnya. Ia tahu betul, Pak Harun selalu mendapatkan apa yang dia inginkan. Mana mungkin Suci akan dilepaskan.