Tetangga ibu saya, sebut saja namanya Pak Dani, sudah puluhan tahun bekerja sebagai teknisi listrik. Demi tanggung jawab sebagai kepala keluarga dan mungkin karena alasan mulia lainnya, jauh-dekat alamat pelanggan yang membutuhkan jasanya, akan dilayani. Ia tak gentar ketika satu dua kali merasakan insiden tersengat listrik. Sampai suatu hari, kecelakaan kerja tersebut mengakhiri kehidupannya.
Atau kisah tentang ayah teman saya, seorang petani gula aren.Â
Ternyata, di balik rasanya yang legit dan nikmat, gula aren atau gula merah dibuat dengan taruhan nyawa pula.Â
Pohon enau (Arenga pinnata) yang siap disadap airnya, dan bisa setinggi maksimal 25 meter, hanya ditaklukkan dengan sebatang bambu sebagai tangga. Risiko tergelincir dan jatuh dari ketinggian pun, menjadi tak terelakkan.Â
Teman saya beruntung, ayahnya bisa pulih setelah berbulan-bulan terbaring dan lumpuh akibat patah pinggang.
Di luar yang saya sebutkan, masih banyak sekali pekerjaan menantang maut. Selayaknyalah kita memahami betapa berharganya sebuah kehidupan. Bahkan untuk menyambungnya, terkadang justru terjerat pada kisah tragis.
Hal yang disayangkan adalah jika karena tuntutan perut, orang sampai menjadi buas, kejam dan kehilangan kemanusiaannya.
(edisi pengingat diri)
Kota Tepian, 21 November 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H