Sudah berkali-kali aku datang, sendiri tanpa bergandengan lagi denganmu.Â
Semua masih seperti yang dulu. Vinca merah jambu dan ungu berderet-deret mengundang kupu-kupu, lalu berpindah di atas soka merah. Alamanda kuning di beberapa titik, bersaing dengan Oleander putih dalam pot besar. Keduanya yang paling menarik kamera ponsel pengunjung untuk swafoto.Â
Sampai orang-orang di sana bosan mengobrol dan anak-anak kecil lelah berlarian, taman ini masih menawarkan bilik rindu untukku.
"Aaaahhhh..."Â terkadang aku harus menutup kedua telinga dan memejam, sampai sekitarku terasa gelap dan hitam.Â
Aku tak sanggup bila kejadian itu membersit lagi dalam ingatanku. Aku tak kuasa melihatmu digulung-gulung ombak saat hari naas itu tiba. Tepat di hari ulang tahunmu, kau ingin bermain selancar, meski cuaca sedang tak bersahabat!
Tak ada yang mengerti bagaimana cinta memilih jalannya. Takdir telah membuat garis-garis yang tak bisa dirubah. Tak peduli apakah kita pernah mengimpikan sebuah keluarga dengan sepasang anak kembar yang lucu. Kita akan menikah persis di awal tahun.
Seperti bangku taman, ternyata aku pun tak bisa bertahan. Aku rapuh, untuk tidak menangisimu setiap duduk sendiri di sini. Aku kehilangan obor kecil di musim hujan. Hampa tanpa syair petuahmu yang sok tua.
Dan kau, apa yang kau rasakan di sana? Masihkah kau ingat tentang taman ini? Tentang aku?
Kesepian telah mendatangimu, seperti bangku-bangku taman yang ditinggalkan. Hanya kesunyian yang terdengar, menemani lampu-lampu dengan cahaya memendar.Â
Aku tergugu, beku. Diam, tenggelam.
Ribuan tetes embun berpesta dengan kabut. Membasahi bunga-bunga layu. Vinca, alamanda, oleander dan soka.Â