Aku merdeka untuk memeluk matahari sore, yang seharian ini menyemangati ide yang kutuliskan. Meski pelukan ini tak bisa lama, sebab malam segera memisahkan kami.
Aku wanita yang merdeka. Ketika orang-orang yang tercinta menyetujui apa saja yang kupilih. Untuk memenuhkan meja dengan menu pengganjal perut. Tanpa pertanyaan, tanpa komplen keberatan, apalagi muka cemberut.
Meski aku tak bisa memilih melahirkan bayi perempuan atau bayi lelaki, aku merdeka menciumi mereka kapan saja. Tanpa ada nasib memisahkan, seperti wanita yang dijajah lelaki tak berguna.
Aku bersyukur dengan kemerdekaan yang menjadi karunia tinggi. Ketika aku memilih diksi tanpa rima tanpa persajakan, engkau tak mem-bully dan membuat negeri ini sepi literasi.
Lalu aku juga akan membuatmu merasa merdeka. Wahai burung-burung kecil yang terbang secara bebas. Wahai bunga-bunga liar yang menyela di antara palawija. Wahai bintang yang muncul dengan atau tanpa sinar di sana.
Aku tak akan merubah ini semua. Caramu berpikir, merdeka memberi apresiasi. Caramu berjalan, merdeka tanpa harus ikut tetabuhan.Â
Sebab aku, engkau, mereka, merdeka tanpa syarat.
_____________
Puisi ini saya dedikasikan kepada wanita yang kehilangan kemerdekaannya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H