Semalam, aku berdiri di depan sebuah pintu. Kupegang gagang pintu dengan jantung berdegup, bersiap membuka ruang kenangan lama. Lalu aku berjalan masuk, mendekat di sisimu.
Camellia. Kutatap engkau masih tertidur dalam kebisuan. Sepasang mata tertutup, lelap dalam kesendirian.
Mungkin engkau tengah bermimpi tentang cinta yang kuberikan. Hangat bagai warna merah kelopakmu. Menghiasi hidupmu dalam dekapanku.
Aku terdiam. Sekujur tubuhmu kaku bagai tak bernyawa. Padahal engkau paling suka berlari mempermainkan keterpakuanku. Engkau ingin aku mengejarmu. Di sela renyah tawa, kutahu engkau begitu bahagia.
Camellia. Engkau adalah lambang cinta sepasang kekasih yang dimabuk asmara. Karena senyummu, diary telah penuh dengan goresan pena. Kisah cinta yang saling setia.
Kudengar waktu berdetak. Aku bangkit dan kukecup keningmu yang dingin. Kubisikkan, aku tak kan melupakan cinta kita. Tidurlah dan bermimpi yang indah.
Aku melangkah meninggalkan gadis selembut sutera. Yang tatapannya lebih menyejukkan dari embun di atas daun.
Kututup perlahan pintu yang lekang oleh waktu. Menguncinya dan tak akan kuisi dengan orang lain. Aku mencintaimu, Camellia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H