Ada tradisi sahur yang saya rindukan, beberapa tahun terakhir. Saya menemukannya saat berada di kota kecil Tolitoli. Saat itu saya merantau seorang diri dan tinggal di kosan (PUEBI: indekos).
Tolitoli berjarak 500 km dari kota Palu, Sulawesi Tengah. Ia merupakan daerah sejuk berbukit-bukit, penghasil komoditas cengkeh.
Meski mayoritas penduduknya muslim, namun banyak juga penganut agama lain yaitu Kristen, Hindu dan Budha. Perbandingannya secara jumlah, tidak terlalu mencolok.
Di tempat indekos, ada tujuh pintu yang penghuninya adalah karyawan dan anak sekolah. Mereka, termasuk saya, berasal dari luar Tolitoli. Pada saat itu, yang beragama Islam hanya tiga orang termasuk saya.
Bagaimanakah cara kami bangun sahur?
Rumah yang kami tempati, berada di lingkungan padat penduduk. Anak kos mempunyai kamar di lantai dua (loteng), sementara lantai bawah ditempati pemilik rumah.
Dari teras loteng, suatu hari di bulan ramadhan, saya melihat sekumpulan anak-anak kampung berjalan melewati gang kecil dekat rumah kos.Â
Mereka bernyanyi riuh sambil memukul tabuhan dari galon kosong dan sebagainya. Meski terdengar nyaring, suara tersebut enak didengar.
Nyanyian mereka kompak dan merdu. Sama sekali tidak asal-asalan. Saya pun tercenung mendengarkan.Â
Tradisi ini di Gorontalo, wilayah dekat Tolitoli disebut Koko'o sahur atau ketuk sahur. Mereka serius berlatih lagu tertentu yang sengaja diciptakan.Â
Pada mulanya alat yang digunakan adalah bambu yang dilubangi. Tetapi kemudian alat yang digunakan bisa apa saja.