Ia tak boleh membantu di dapur karena masakannya dirasa hambar, dan tidak disukai menantu serta cucunya.
Setelah beberapa lama mongobrol, barulah sahabatku turun dari loteng, dari kamarnya. Saat itu suasana rumah agak berantakan, karena sedang ada renovasi.Â
Beberapa barang jadi berantakan, dan satu-satunya sofa di ruangan itu dipenuhi oleh barang-barang yang belum dibereskan.
Tin sahabatku, mengosongkan sedikit ruang di sofa merahnya, lalu duduk dengan manisnya.
Saya sedikit merasa aneh, karena lawan bicara berada  sedikit lebih di atas, dengan kaki ditumpuk anggun. Gambaran saya dan ibu mertuanya, seperti abdi dalem yang sedang menghadap Sri Ratu. Oh no!
Pengalaman ini, baru terjadi sekali seumur hidup saya. Entah kenapa saya merasa jengah dan risih saat itu. Sempat saya meminta duduk saja di lantai ubin beraama-sama, sahabatku menolak dengan menggeleng.
Oke, ini seperti pil pahit. Saya tidak bisa melihat lebih jauh lagi. Saya harus menjauhi sahabat seperti ini. Saya tidak ingin ketularan sifat sombong dan sadisnya. Biar bagaimana saya dan dia mempunyai prinsip berbeda tentang ibu mertua.
Bukan karena suami engkau sangat murah rezeki dan bisa membangun rumah seperti sekarang. Bukan pula karena mertua yang renta tinggal di rumah suamimu, bergantian dengan anak lelakinya yang sulung. Lalu engkau memandangnya rendah.
Hari ini, genap dua tahun saya tak mengunjungi seorang sahabat yang sudah sepuluh tahun merenda kebahagiaan bersama.Â
🌷🌷🌷
Samarinda, 12.2.21 (tanggal cantik)