Saya sendiri yang masih muda, ngos-ngosan sampai di rumah mereka karena meninggalkan motor di bawah, dan naik dengan berjalan kaki.
Apa yang dilakukan ibu mertua sahabat saya, pergi ke rumah tetangga padahal jarak rumah di sini masih berjauh-jauhan dan jalan masih berupa jalan setapak? Saya jelas bertanya dengan rasa penasaran pula.
"Aku meminta daun kelor, buat disayur dan buat obat lututku ini..." jawab sang mertua dalam bahasa Jawa. Tatapan matanya tampak begitu sedih.
Segera saya bertanya lagi. "Kenapa tidak minta diambilkan, sama anak atau mantu Ibu?" beliau menggeleng.
"Sudah. Mereka tidak mengambilkan. Padahal mereka gampang, setiap hari lewat pakai motor. Mungkin mereka lupa..."
Kepalaku mulai pening. Sebelum merasa mual, saya pun minta pamit. Tak sempat bertemu si empunya rumah, sahabat saya.
Begitulah hidup. Hubungan mertua-menantu sering diwajarkan bila tidak mencapai keharmonisan dan saling menyayangi. Tapi terus terang saya tidak suka.
Pernah saya merasa dilema, saat berbelanja sayuran di pasar.Â
Saat itu di hadapan saya ada beberapa ikat daun ubi (telo rambat). Tampak masih muda dan baru. Bukankah sayuran ini yang pernah dikangeni wanita lansia itu? Katanya enak dikulup bersama sambel mentah dan terasi. Menu kesukaan suaminya yang baru setahun berpulang.
Di suatu hari yang lain, masih di rumah sahabat saya itu lagi, dengan santai saya duduk bersila dekat sang ibu mertua.Â
Sepanjang hari beliau leyeh-leyeh di depan tv jadul, menunggu datangnya malam. Tak ada yang harus ia lakukan kecuali beranjak saat masuk waktu sholat.Â