Satu lagi kisah, yang mungkin engkau tak akan membacanya. Tentu saja ini kisah antara engkau dan aku yang tak bisa kulupakan.Â
Tapi apa ada ya, gadis yang mau menikah karena embel-embel calonnya seorang pujangga? Biasanya kan, karena Sarjana, atau karena pekerjaan yang mapan.
Baiklah, aku akan jujur.Â
Yang menimpaku saat itu adalah dari puisi, turun ke hati. Aku terpesona dengan diksimu, atau terperangkap dalam imajinasimu. Keduanya mungkin hanya dibedakan oleh menit. Lalu aku mabuk kepayang. Merasa berjalan denganmu ke bulan.
Empat belas tahun yang lalu, lewat pesan singkat yang harusnya benar pesan singkat, engkau mengirim puisi romantis.Â
Seandainya itu terjadi saat sekarang, puisimu amat mudah kubaca di atas layar selebar 7". Puisimu tidak akan terpotong menjadi empat bagian. Scroll pun akan sangat mudah. Jauh berbeda dengan ponsel saat itu yang mengandalkan tombol pencet dan layar yang amat kecil.
Sering aku membayangkan bila saat itu sudah ada aplikasi chatting dan gambar, alangkah mudah dan cepat.
Hahaa... tapi walaupun kecanggihan telekomunikasi saat itu belum seperti sekarang, toh berhasil juga menyatukan kita, yaa...Â
Benar kata pepatah, gunung kan kudaki, lautan kan kuseberangi
Nyatanya aku meminta dikirimkan puisi setiap hari, dan engkau menyanggupi.Â