Awal mula kehidupan, daratan bumi kita berupa surga hijau hutan belantara. Di dalamnya penuh ekisistem tumbuhan dan habitat hewan. Semua masih begitu lengkap dan liar.
Zaman berganti dan manusia beranak-pinak. Jumlah manusia kian bertambah dan bertambah. Hutan pun perlahan menjadi kota, dalam ratusan tahun kemudian.
Hutan yang bak zamrud, kini gundul dan mulai telanjang. Dari kejauhan pun tembus pandang.Â
Hati siapa tak takut?
Bahaya banjir akibat hilangnya sumber resapan air, mengancam. Longsor menimpa jalan-jalan antar kabupaten dan menghambat distribusi serta aktifitas lain. Setidaknya pemandangan ini yang saya dan suami saksikan di laman medsos. Tentang kampung asal suami yang semakin sulit menggeliat. Bahkan di kota kecilnya sendiri.
Kondisi ini bukan wacana baru bagi negeri. Dan pihak yang ditunjuk ujung jari biasanya developer. Mungkin karena hubungannya dengan nominal yang diraup begitu besarnya, tanpa meninggalkan solusi sebagai pertanggungjawaban.
Lalu apa hikmahnya?
Satu hal yang saya banggakan dari negeri tercinta, dalam kesusahan selalu ada yang menjadi malaikat. Saat terjadi bencana dan keadaan darurat lainnya, turunlah kaki-kaki pembawa misi kemanusiaan dan rasa peduli.Â
Muncul tangan-tangan relawan yang siap menyumbang tenaga dan waktu.
Begitu pula dalam program lingkungan hidup atau peremajaan hutan. Lahirlah aktifis dan pemerhati sekaligus pecinta alam. Tak sedikit pihak yang peduli pada spesies hewan yang mungkin terganggu dan punah.