Aku seorang ibu. Mestinya aku bersemangat menuliskan opini dan pengalamanku tentang ibu.Â
Tapi sulit kupungkiri, seluruh hatiku bergetar untuk menceritakannya. Seakan aku berhadapan dengan awan tebal yang siap turun sebagai hujan air mata.
Baiklah langsung saja.
Ibuku adalah perempuan Jawa yang sederhana. Sebelum aku lahir, ibu sudah mengikuti bapak merantau ke Kalimantan. Sejak itulah, ibu menjadi "pejuang" keluarga kami.
Dimulai dari masa-masa sulit sejak mengandung aku, anak pertamanya, bersambung tiga tahun kemudian saat adikku lahir dan sakit-sakitan di masa balitanya.
Mungkin tempaan seperti inilah, yang justru memberikan ibu pelajaran, bagaimana beliau harus menjadi wanita kuat dan tangguh. Tidak cengeng, tidak mengeluh dan menyerah oleh keadaan begitu saja.
Ibu bukan sosok yang banyak bicara. Tapi dari ibu aku mendengar, ibu bekerja saat adikku belum genap berusia empat tahun, agar aku bisa masuk sekolah.Â
Keputusan seperti ini, pada akhirnya justru membuat ibu merasa bersalah karena meninggalkan adik saat masih membutuhkan sentuhan dan kasih sayang ibu. Rasa bersalah itu, terus menghantui ibu bahkan selama hidupnya.
Dari sini aku belajar, bahwa menjadi seorang ibu sangatlah berat. Bukan sebatas melahirkan, menyusui, dan merawat hingga kami dewasa. Tetapi tentang sebuah tanggung jawab moral dan mental.
Ibuku adalah wanita baik, kakak yang dihormati, dan adik yang dicintai saudara tuanya.