Apa yang kulakukan setiap harinya, bisa dibilang berpacu dengan waktu. Aku sendiri heran. Pasti ada yang salah!
Di luar sana para istri mencari nafkah membantu suami mereka. Memberi contoh kemandirian pada anak-anaknya. Meng-akselerasi kemajuan rumah tangga. Entah alasan apa lagi.
Membuka mata saat malam masih buta, sekian dari sekian pahlawan keluarga itu membuat adonan aneka jajanan, memasak berbagai macam menu, dengan deadline sesaat sesudah subuh. Ohh!
Wanita memang pejuang yang bertarung dengan kelemahan raga. Tetapi hatinya begitu teguh agar anak-anaknya sejahtera. Tak mengenal lelah, tak mengenal hujan badai. Huff.
Aku pun, membuka mata saat malam belum pulang. Memulainya dengan bersujud dan berdoa. Lalu menghangatkan dapur dengan api kompor.
Ini masih lebih mudah.Â
Nenek buyut dan seangkatannya, hanya dengan modal tungku perapian, melayani keluarganya. Berteman dengan asap kayu bakar yang membuat mata perih, dan arang yang menempel dimana-mana. Dengan panas api yang terlalu membakar, atau kayu basah yang justru tak mau menyala.Â
Di sela waktu, aku masih menyapa teman dalam dunia maya. Postingan sebagian mereka apik dan hebat. Menjadikan orang sepertiku kecanduan.
Aku tak punya banyak waktu, rasanya begitu. Aku harus menenggelamkan diri dalam tanggung jawab, karena aku mempunyai jabatan mulia. Aku bukan pekerja, tetapi aku teguh mengabdi. Dan pengabdian selalu punya totalitas. Karena itulah aku tenggelam.
Aku tengah menghibur diriku, mungkin.