Kami beruntung tinggal di area tanah yang luas. Sepintas suasananya seperti hutan memang. Ditemani pohon-pohon tinggi, tapi tak bisa dibilang besar. Di kejauhan nampak atap-atap rumah berjajar rapi khas perumahan. Di atas perbukitan pastinya.
Lalu apakah kami merasakan kesan sunyi? Tentu saja iya.Â
Pagi hari burung-burung kecil pada ngoceh. Tapi tak berlangsung lama.Â
Sesekali juga terdengar suara tupai. Girang melompat mencari buah mangga yang baru dua biji. Maklum baru belajar berbuah, kata misua.
Selain bentuk tubuh tupai yang lucu: badannya kecil dan ekornya mirip pembersih botol, ada hal nyebelin dalam diri si tupai. Setidaknya itu pengalaman misua yang gemes karena cempedak yang baru dua biji berbuah (loh...janjian ya dengan mangga) ludes pula dalam dua hari misinya. Tupai punya misi, Â catat.
Sebenarnya kami belum lama tinggal di sini. Tepatnya baru dua tahun. Dan pohon-pohon yang baru belajar berbuah tadi, adalah hasil tangan dingin bapak.
Kondisi tanah untuk berkebun sebenarnya tak terlalu mendukung. Tapi misua semangat saja menanam beberapa pohon lain. Nangka, rambutan, sirsak, dan jeruk. Semua dari bibit unggul. Dan aku sangat gembira membayangkan beberapa waktu lagi bisa makan banyak buah-buahan yang ditanam sendiri. Bukan hasil panen dari pasar. Haha...
Tinggal di lokasi jauh dari tetangga, jalan setapak pula, menjadi pengalaman pertama kami. Bagaimana menyesuaikan diri dengan alam liar, alam bebas. (ck...ck...hiperbolis)
Entah sudah berapa anak ular mampir ke rumah pondok kami, dari beberapa jenis yang berbeda. Ular hijau, ular hijau berekor merah, ular welling, ular hitam. Woaa...Â
Apa kami merasa takut? Jelas iya.