Laki-laki itu masih muda. Sekitar dua puluh delapan tahun. Lumayanlah, belum terlalu tua untuk disebut jomblo.
Yang menarik darinya bukan ootd ber-merk mahal, ataupun roda dua dengan harga selangit yang masih kinclong. Bukan.
Umar hanyalah seorang laki-laki sederhana, yang bekerja membuat gambar sketsa dan ilustrasi di sebuah kantor penerbit.Â
Bayarannya dalam sebulan, tentu tak seberapa. Hanya cukup untuk bayar kost, rokok, makan, dan beli kuota internet. Untuk membeli parfum mahal, membayar loundry, apalagi untuk membeli seikat bunga segar, tentu saja tak mungkin. Sebuah mimpi di siang bolong.
Tapi bagiku, Umar sangatlah menarik.Â
Hanya dengan memandangnya dari kejauhan, melihat posturnya yang tinggi tegap, serta wajah tenangnya, aku sudah senang. Beberapa teman sampai meledekku. Lebih tepatnya, mengecilkan. Tapi aku tak perduli.
Apa yang kucari dari seorang laki-laki baik sepertinya?
Pertanyaan ini pernah kucari jawabannya sebelum mataku tertidur. Dari atas bantal dan kasur yang empuk, mataku menerawang ke langit-langit kamar. Lima menit, sepuluh menit, aku tetap tak menemukan jawaban yang logis. Sampai akhirnya aku terbenam ke alam mimpi.
EMPAT BELAS TAHUN BERLALU.
Sekarang Umar adalah bapak dari tiga anak kami. Ya, aku menerima lamaran laki-laki berpostur tinggi dan berwajah tenang itu.Â
Rasanya luar biasa. Seperti memenangkan sebuah kompetisi.Â