Aku suka excited memperhatikan kerja protokol yang mengatur kegiatan pejabat. Mereka selalu tampak heboh dalam kegentingan karena harus mengatur banyak hal agar kegiatan sang pejabat berjalan baik. Telpon genggam di tangan kiri dan kanan tak henti-hentinya berdering. Tak hanya menerima telpon, ia juga harus menghubungi banyak pihak untuk memastikan tempat-tempat yang akan dikunjungi si pejabat telah dipersiapkan dengan baik.
Aku pikir, protokol adalah orang yang berada di tengah dan menjaga dua kepentingan. Ia musti memastikan pejabat yang dikawalnya terlayani dengan bagus. Kalau tidak, ia bisa kena semprot bos nya itu. Terhadap klien atau pihak yang hendak dikunjungi, ia juga harus bisa menjamin bos nya atau si pejabat bisa datang tepat waktu dan kalaupun terlambat tidak terlalu lama. Jika tidak, ia akan mengorbankan banyak audiens yang telah menunggunya.
Kali ini aku mengikuti perjalanan Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal ke Pulau Sumba untuk mengunjungi 4 kabupaten di pulau itu.
Hiruk-pikuk kesibukan protokol sungguh menyedot perhatianku. Karena begitu sibuknya, protokol yang sedang bertugas seperti orang yang untouchable. Aku jadi menahan diri untuk tidak banyak bertanya kecuali sangat penting. Bukan apa-apa…tapi tidak tega, sumpaah…:P Jangankan buat makan, untuk bernafas saja barangkali ia harus mencuri-curi waktu. Apalagi ke toilet, ia selalu terbirit-birit.
Bayangkan saja, selama berlangsungnya acara seremonial pak menteri ia harus atur semuanya, mulai dari susunan acara, memantau audiens yang ingin bertanya hingga souvenir dan sumbangan yang akan menteri berikan. Dalam pada itu, ia sembari berkomunikasi dengan pihak yang akan dikunjungi di tempat berikutnya. Juga untuk mengatur kesemua hal itu, termasuk waktu tempuh menuju ke tempat itu dan durasi kunjungan…ckckck.
Tapi diluar gegap-gempita kesibukan itu, ternyata masih ada hal yang tidak aku ketahui. Protokol ternyata sering kasbon di restoran gara-gara si menteri suka menjamu tamu atau teman di luar jadwal.
“Saya sering tuh mbak…ninggal KTP di restoran,” cerita si Protokol saat transit di ruang VIP Bandara Ngurah Rai.
“Grrrr…,” semua tertawa seraya merasa iba.
Tadinya si Protokol kita sindir-sindir karena tidak mengajak wartawan makan di Jimbaran bersama menteri.
“Giliran seneng-seneng aja…wartawan gak diajak :P,” sindirku.
Eh ternyata protokol kehabisan dana. Dalam rangkaian kunjungan kerja selama 5 hari di Sumba itu, menteri banyak memberikan sumbangan spontan.
Nah…kalau dalam kunjungan itu menteri membuka forum dialog, si protokol mulai dag-dig-dug tuh. Tahu sendiri kan…kalau dikasih waktu bicara sama pejabat, masyarakat pasti curhat dan ujung-ujungnya minta bantuan. Ya…memang tugas pejabat untuk melayani rakyat sih. Tapi protokol bisa mendadak pucatsaat menteri selalu meng-iya-kan tanpa menoleh (baca:konfirmasi) dengan protokol. Padahal, dari Jakarta bagian keuangan hanya memberidana untuk kebutuhan yang dianggarkan. Dan menteri –katanya_ tidak pernah mengecek berapa uang cash yang masih dipegang protokol.
Ha ha…walhasil tidak ada lagi anggaran makan siang untuk wartawan diakhir perjalanan itu. Dan celakanya, kami di’karantina’ di ruang tunggu VIP yang tidak bisa ke mana-mana untuk membeli makanan. Ya sudah, makanan jatah menteri di ruang itu kita gasak saja…
“Sal…Faisal…maaf ya, ini makananmu dijarah anak-anak,” teriak orang humas seolah-olah memanggil si menteri.
“Wkwkwk…”
Bapakhumas itu lalu duduk di kursi pak menteridan mempersilahkan kami semua untuk makan kue-kue yang terhidang, dengan gaya layaknya menteri.
Ya okelah kalau begitu. Meski makan siang itu cuma diganjal kue, kita tidak akan komplain deh…kaciaaan sama protokol :P
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H