Mohon tunggu...
Ahmad Yohan
Ahmad Yohan Mohon Tunggu... -

Putra Lamakera, Flores, NTT yang jadi Suporter Setia MU

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

KNPI dan Semangat Sumpah Pemuda

26 Oktober 2014   18:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:41 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14115478191759722767

[caption id="attachment_344135" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber gambar: aqiqahcatering.com"][/caption]

86 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 28 Oktober 1928, pemuda Indonesia menorehkan sejarah integrasi nasional. Sumpah Pemuda dengan digdaya kesadaran kepatriotan “Bertanah Air Satu Tanah Air Indonesia, Berbangsa Satu Bangsa Indonesia dan Berbahasa Satu Bahasa Indonesia” ini kemudian menjadi elan perjuangan kaum muda, dan membuka babak baru semangat kesatuan, serta fase baru supremasi kaum muda dalam tonggak sejarah nasional.

Peristiwa ini dianggap penting dan bermartabat dalam sejarah bangsa Indonesia. Bermartabat karena mampu mengagitasi semangat kaum muda nusantara, untuk ikut serta mewujudkan cita-cita kemerdekaan dan berdirinya negara kesatuan Indonesia.

Tembok sektarianisme, dan gerakan-gerakan sporadis di berbagai daerah, seakan terpanggil dalam semangat yang sama, yakni kesadaran ke-Indonesiaan. Suatu kesadaran yang tadinya tersekat-sekat dalam kurungan primordialitas etnis dan suku, akibat politik devide at impera. Soliditas kaum muda pasca 28 oktober 1928 ini, kemudian menekuk berbagai upaya politik adu domba kolonial. Sumpah Pemuda 1928, menjadi ilham perjuangan kaum muda Indonesia untuk melawan kolonialisme. Dan akhirnya 17 tahun kemudian pasca sumpah pemuda, Indonesia memperoleh kemerdekaannya.

Merefleksikan sumpah pemuda, seakan menghidupkan kembali bara api kemudaan 86 tahun silam, dalam ruang dan momentum perjuangan yang berbeda tantangannya. Semangat sumpah pemuda patut menjadi basis nilai gerakan kaum muda dalam menjawab berbagi persoalan dan tantangan sosial politik dengan wujudnya masing-masing. Belum lagi globalisasi dan “anak haramnya (neo-liberalisme)”, menyuguhkan bentuk penindasan dengan berbagai variannya, termasuk politik kekuasaan tanpa nilai yang hari ini menggerogoti dan berkubang dalam idealisme kaum muda. Hal ini patut dilihat sebagai ancaman.

Tak dinafikan tantangan baru neo-liberalisme di segala ruang itu, telah mengkanalisasi kaum muda dalam model dan identitas perjuangan yang pseudo. Dalam praksis politik mutakhir, patologi kejuangan kaum muda ini terlihat nyata, ketika begitu mudahnya kelompok gerakan pemuda dan representasi institusi kepemudaan (seperti KNPI) dikangkangi politik kekuasaan, yang acap kali memberikan tawaran-tawaran nyaman pragmatisme. Bangunan ideologi perjuangan pemuda kemudian getas, dan mudah roboh oleh godaan kekuasaan di sekitarnya. Inilah fenomena eksistensi pemuda hari ini.

Secara jujur harus diakui, bahwa saat ini, cita-cita ideal pendirian bangsa sebagaimana yang diperjuangkan oleh pemoeda tempoe doeloe dengan fakta saat ini terpisah secara diametral. Kepincangan nasional demikian terlihat nyata. Secara nasional, walau kini di atmosfer reformasi, namun situasi ekonomi Indonesia belum juga membaik, kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin makin ternganga. Melebarnya gini ratio 2011-2013 sebesar 0,41% (lebih tinggi dari tahun 2008-2010; 0,38%), adalah indikator semakin timpangnya kehidupan sosial (baca : BPS- Gini Ratio-Welfare Indicators, Statistics Indonesia).

Pengangguran dan kemiskinan menjadi agenda yang belum terpecahkan, situasi politik yang penuh warna korupsi. Kondisi ini menggambarkan bahwa saat ini kita tengah mengalami krisis moral akut. Nilai-nilai moral yang mestinya melandasi sepak terjang kita kini telah hancur berkeping-keping. Belum lagi persoalan penegakkan hukum masih amburadul dan terkesan tebang pilih.

Tentu ini memprihatinkan, karena persoalan moral merupakan pilar peradaban suatu bangsa. Jaya atau tidaknya suatu bangsa juga sangat ditentukan moral para pemimpin dan rakyatnya. Lagi-lagi ongkos demokrasi yang mahal, menyebabkan korupsi dan politik uang cuma berpindah tempat, dari elit ke rakyat.

Biaya demokrasi yang besar dengan mahalnya ongkos pencitraan, sebagai tanda kemunduruan demokrasi. Postur seleksi kepemimpinan nasionalpun tereduksi, dari bangunan ideologi pemimpin menjadi sekedar menaikan pamor imajiner pemimpin dengan pencitraan media. Disinilah kita menakar, betapa rendahnya kadar kualitas pemimpin nasional saat ini.

Persoalan lain yang dihadapi bangsa Indonesia adalah upaya menegakkan kedaulatan rakyat dan kemandirian bangsa. Kemandirian ini terimplementasi dalam pembangunan ekonomi, politk dan budaya. Artinya situasi makro yang memang interdependensi, namun jangan sampai mengarah pada dependensi Indonesia pada kekuatan-kekuatan eksternal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun