Efektifitas kebijakan akan dievaluasi dalam interval waktu satu tahunan kedepan. Untuk itu pengelolaan lobster perlu didukung masyarakat. Bisa dengan cara menumbuhkan kearifan lokal masyarakat pesisir dalam menjaga laut.
Barangkali kita perlu mengadopsi model kearifan lokal kemaritiman Nanggroe Aceh Darussalam.  Diantaranya nelayan wajib mengikuti aturan adat saat menangkap ikan di laut, yaitu tidak merusak lingkungan dengan melarang penggunaan bahan kimia, bom ikan dan pukat harimau. Menetapkan hari tidak boleh melaut, seperti hari Jumat, kenduri laut dan hari besar lainnya. "Panglima Laot" selaku pimpin adat laut mampu  mempersatukan nelayan untuk berperan serta dalam menjaga keamanan laut.
Oleh karenanya lembaga kenelayanan bersama tokoh masyarakat, kelompok masyarakat pengawas (Pokmaswas) dan pihak terkait berkenan membuka ruang musyawarah untuk memperoleh kesepakatan tentang pengelolan sumber daya kelautan dan perikanan. Barangkali musyawarah bisa  dimulai dari tingkat terkecil di sentra nelayan. Kemudian berlanjut menuju tingkatan lebih besar.
Bisa saja sepakat menetapkan sebagian zona perikanan tangkap untuk kawasan bebas penangkapan, jadi semacam kawasan konservasi dan proteksi sumber daya ikan. Jika perlu kawasan tersebut diberi sarana, misalnya "shelter" lobster dan merehabilitasi habitatnya untuk berkembang biak dan tumbuh sehingga hasil laut bisa dinikmati terus menerus. Upaya dimaksud perlu untuk memastikan keberlanjutan pemanfaatan dan kelestarian lobster.
Demikian kiranya perlu diyakini bahwa kekayaan sumber daya kelautan dan perikanan, khususnya lobster bisa hilang jika terus menerus dieksploitasi melebihi batas daya dukungnya.
Oleh : Ir. Ayom Budi Prabowo, M.Si
Pemerhati Kelautan dan Perikanan, domisili Kabupaten Sukabumi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H