Mohon tunggu...
Suryo Bagus
Suryo Bagus Mohon Tunggu... -

Mahasiswa STF Driyarkara, aktif di bidang design grafis dan permajalahan kampus. Minat terhadap politik, sosial, filsafat, psikologi dan budaya.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Sosiologi Agama

12 Maret 2014   01:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:02 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pengantar

Dalam buku 1984 karya George Orwell dikatakan bahwa masyarakat masa depan secara total akan dikontrol dan digerakkan oleh “Saudara Besar” yang tidak kelihatan. Kontrol ini tidak lagi memberikan ruang pribadi dan intim bagi individu. Memang apa yang dibayangkan oleh George Orwell ini nampaknya nyata. Setelah Perang Dunia II perkembangan ilmu elektronik dan alat-alat lebih canggih lain ditemukan untuk mengontrol dan memonitor masyarakat. Konflik-konflik internal mulai bergejolak, orang muda mulai terhipnotis dengan seks bebas, narkoba dan ketidakpuasan terhadap denominasi-denominasi keagamaan. Melihat semua gejala yang terjadi dalam masyarakat ini muncul sebuah pertanyaan: “Apakah benar agama akan ditinggalkan dan diganti dengan filsafat yang baru yang mengukur manusia hanya menurut kegunaannya untuk hal-hal tertentu saja?” Dalam paper singkat ini, saya hendak memberikan analisis dan mencoba menggali jawaban yang nyata atas pertanyaan tersebut.

A.Agama di Tengah Masyarakat Ilmiah

Dalam Agama dan Tantangan Masa Kini M. Sastrapratedja, SJ menandaskan bahwa “Perkembangan ilmu pengetahuan kemanusiaan membawa suatu implikasi yang lebih kompleks, karena hal ini menyangkut kesadaran dan definisi manusia itu sendiri. Pertama-tama kita dapat mencatat pertumbuhan filsafat yang semakin dipisahkan dari teologi dan dari pengendalian sistem-sistem religius… hal ini menciptakan suatu konfrontasi dengan pandangan-pandangan tradisional dan religius mengenai manusia.” Nampak di sini bahwa masyarakat yang semakin ilmiah terlihat semakin meninggalkan agama. Akan tetapi, hal ini dibantah oleh beberapa pakar sosiologi.

Emile Durkheim menandaskan bahwa agama berperan untuk mengikat suatu komunitas bersama. Durkheim menyatakan bahwa Agama adalah suatu sistem yang terpadu mengenai keyakinan-keyakinan dan praktik-praktik yang berhubungan dengan hal-hal yang suci, yang menyatu dalam satu komunitas yang disebut Gereja (umat). Pemeluk agama yang telah berkomunikasi dengan tuhannya adalah orang yang lebih kuat. Ia merasa ada lebih banyak kekuatan di dalam dirinya, membuatnya dapat bertahan terhadap godaan. Oleh sebab itu tidak ada masyarakat yang tidak merasa perlu untuk menegakkan dan meneguhkan secara berkala perasaan-perasaan kolektif dan ide-ide kolektif yang menciptakan kesatuannya dan kepribadiannya. Kebangkitan moral ini dapat dicapai dengan perjumpaan di antara individu dalam upacara-upacara keagamaan.

Durkheim melanjutkan bahwa agama bukan saja ciptaan sosial; agama adalah kekuatan komunitas itu sendiri yang disembah. Kekuatan atas individu sedemikian mengatasi eksistensi individu sehingga orang secara kolektif memberinya makna suci. Agamalah yang menjadi salah satu kekuatan utama yang membentuk kesadaran kolektif. Jadi nampak bahwa agama masih tetap hidup dan berkembang baik karena agama menjadi tempat untuk menumbuhkan kesadaran kolektif di tengah masyatakat yang semakin ilmiah ini.

Alasan lain mengapa agama masih tetapi hidup dan berkembang baik adalah kebutuhan manusia akan makna yang dipenuhi dalam agama. Manusia membutuhkan makna akan apa yang mereka lakukan dan apa yang mereka alami. Makna mengacu kepada tafsiran keadaan-keadaan dan peristiwa-peristiwa dari suatu kerangka acuan yang lebih luas. Individu cenderung menggunakan banyak makna keagamaan pada bagian-bagian dari hidup mereka, daripada menggunakan satu sistem makna komprehensif saja. Peter Berger menandaskan bahwa makna tidak melekat atau menjadi sifat dari situasi, tetapi diberikan. Seseorang dapat menafsirkan suatu peristiwa, seperti kehilangan pekerjaannya, dengan menerapkan variasi yang luas dari makna-makna yang mungkin digunakan. Sistem makna menafsirkan eksistensi keseluruhan kelompok. Peter Berger menjelaskan bahwa sistem makna itu explanatory dan sekaligus normative, yaitu, ia menjelaskan mengapa dan menentukan bagaimana segala sesuatu itu seharusnya ada.

Secara lebih lugas Geertz menyatakan bahwa agama atau simbol-simbol suci, memainkan peran penting dalam membentuk world picture dan dalam merelasikannya kepada ethos. Simbol-simbol suci membuat intelektual ethos menjadi rasional dengan menujukkan hal tersebut menjadi ekspresi cara pandang dunia. Hamilton menguraikan apa yang disampaikan oleh Geertz dengan lebih mudah dipahami: “Ethos and world view, then, are mutually supportive. Religious symbols formulate a basic congruence between a particular style of life and a specific metaphysic, and in doing so sustain each with the borrowed authority of the other…” Menjadi jelas bahwa agama masih tetap hidup karena agama memberikan tempat bagi manusia untuk memberikan makna akan pengalaman yang mereka alami, membantu manusia untuk membentuk dan memahami simbol, dan memenuhi kebutuhan manusia untuk menjawab pertanyaan “Siapakah aku?”

B.Agama dalam Perubahan Masyarakat

Saya mendukung pernyataan “Nilai-nilai dan ajaran agama sangat mempengaruhi perubahan yang terjadi dalam masyarakat.” Secara nyata memang tidak kentara sumbangan agama terhadap perubahan yang terjadi. Globalisasi dan kemajuan di bidang ilmiah lebih nampak pengaruhnya dalam perubahan yang ada. Berger menyatakan bahwa agama adalah usaha manusiawi untuk membangun kosmos yang kudus. Agama adalah proses kosmisasi dengan cara yang kudus. Kudus di sini berarti suatu kekuatan yang maha besar, namun tetap menyapa manusia dan menempatkan  kehidupan manusia dalam suatu tertib yang penuh makna. Berlindung dalam kosmos (keteraturan) berarti terlindung dari bahaya anomi atau ancaman kaos (ketidakaturan). Manusia khawatir terlepas dari perlindungan kosmos kudus. Di sini agama dimaksudkan untuk menjamin manusia dari ancaman terlempar dalam kaos itu.

Secara historis, sebagaian besar dunia yang dikonstruksi manusia adalah dunia keramat. Bahkan kelihatannya hanya lewat keramatlah maka mungkin bagi manusia untuk membayangkan adanya suatu kosmos. Dengan demikian, agama telah memainkan peranan sangat penting dalam usaha membangun dunia. Weber menyatakan bahwa agama merupakan bagian dari jaringan yang lebih luas dari pranata-pranata sosial, yang membentuk masyarakat. Agama menjadi sumber pilihan bagi proyek terus-menerus mengkonstuksi identitas pribadi. Dalam masyarakat modern agama menjadi salah satu sumber perasaan perseorangan akan rasa memiliki dan identitas. Oleh sebab itu nilai-nilai dan ajaran-ajaran agama sangat mempengaruhi perubahan yang terjadi dalam masyarakat.

Pernyataan nilai-nilai dan ajaran agama sebagian besar merupakan refleksi dari kondisi-kondisi material merupakan pernyataan yang tidak bijaksana. Pernyataan tersebut terdengar mendukung apa yang dikatakan oleh Marks bahwa agama hanyalah sebagai candu dan oleh Feurbach bahwa agama hanyalah proyeksi manusia. Akan tetapi pada dasarnya “agama memberdayakan manusia pertama-tama dengan pemaknaan hidup. Hidup manusia dan masyarakat akan menjadi kosong dan mengalami berbagai patologi apabila kehilangan makna.” Manusia adalah mahluk yang terus menerus mencari dan menciptakan makna yang terungkap dalam simbol, yang merupakan kekhasan manusia. Jadi tidak bijaksana menyatakan bahwa agama hanyalah refleksi dari kondisi-kondisi material.

Daftar Pustaka

Malcolm B Hamilton, the Sociology of Religion, (USA: Routledge publisher, 1995)

Olaf Schumann, “Milenium Ketiga dan Tantangan Agama-Agama”, dalam buku Agama-Agama Memasuki Milenium Ketiga, ed. Martin L. Sinaga, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2000)

Sastrapratedja, M. SJ, Agama dan Tantangan Masa Kini, (Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 2002)

Olaf Schumann, “Milenium Ketiga dan Tantangan Agama-Agama”, dalam buku Agama-Agama Memasuki Milenium Ketiga, ed. Martin L. Sinaga, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2000), hlm.3

Sastrapratedja, M. SJ, Agama dan Tantangan Masa Kini, (Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 2002), hlm. 3

Malcolm B Hamilton, the Sociology of Religion, (USA: Routledge publisher, 1995), hlm 157

Malcolm B Hamilton, the Sociology of Religion, (USA: Routledge publisher, 1995), hlm 158

Sastrapratedja, M. SJ, Agama dan Tantangan Masa Kini, (Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 2002), hlm. 54

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun