Mohon tunggu...
Ayu Bejoo
Ayu Bejoo Mohon Tunggu... Jurnalis - Moody Writer

Moody Writer

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cerpen] Kopi Bapak

15 September 2016   08:04 Diperbarui: 15 September 2016   08:11 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi sekali, sangat.  Aku duduk  tertegun menerawang kedepan, menikmati nyanyian lautan, dilatari tarian ombak, sangat menikmati. Aku berselonjor diujung pelantar, dengan kepulan asap dari secangkir kopi yang kubuat, barusan. Kopi kesukaan Bapak. Kopi racik termurah, dengan segala rasa ‘terserah’.

Bapak suka kopi. Satu-satunya yang kutahu tentang Bapak. Aku anak Bapak, tapi aku tidak pernah mengenal Bapak. Bapak tidak pernah bercerita panjang lebar, layaknya seorang Bapak kepada anaknya,  padahal kata orang, Bapak adalah seorang pencerita yang handal. Bapak tidak pernah mengajariku belajar, menemani pun tidak, padahal kata orang, Bapak adalah seorang manusia ber-otak dewa dengan segudang perhatian yang dia miliki. Aku tidak pernah percaya apa yang ‘orang bilang’, aku selalu percaya apa yang ‘aku temukan’. Dan aku menemukan Bapak tidak seperti yang orang bilang. Aku kecewa.

Bapak suka kopi. Suatu fakta yang aku jadikan alasan agar bisa berdekatan dengan Bapak, satu-satunya fakta yang menguntungkan dari sekian ribu fakta yang seharusnya memang tidak ada. Fakta terbaik dari seluruh produk fakta yang seharusnya aku ketahui sepuluh tahun lebih cepat, ternyata jauh tersimpan untuk sepuluh tahun agak lambat. Fakta terbaik bersembunyi dengan baik, tak tersibak sedikitpun, hingga waktu terbaik menyibaknya. Fakta yang membuat aku berselonjor disini, diujung pelantar, disamping secangkir kopi, kopi kesukaan Bapak. Sambil menikmati.

--------

Namaku Firman,  pengusaha muda yang kaya raya, baik hati dan tidak sombong. Aku tidak suka kopi, tapi aku mahir membuatnya. Aku punya dua anak, tapi tidak punya seorang pun istri. Aku juga tidak bisa melahirkan seorang pun anak, tentu saja aku ini manusia,tapi tetap saja aku bukan perempuan. Aku tidak ditakdirkan untuk melahirkan, malah  sebaliknya, aku dilahirkan untuk mentakdirkan. Aku membuat takdir dengan berjalan, menelusuri jalan setapak menuju panti asuhan, caraku membuat takdir. Oke simple. Aku bahagia. Typo. Kami bahagia. Kami, aku dan dua anakku.

Namaku Firman, lelaki dewasa berumur 25 tahun. Anak pertamaku Reihan, 13 tahun. Putih, berambut ikal, tampan. Anak keduaku Zahra, 10 tahun. Manis, manis, dan manis. Kami tinggal bertiga, tidak, berempat, satunya lagi Sholihah, Sholihah bukan istriku, dia kucing kesayangan Zahra. Aku juga sempat bingung, saat pertama kali mendengarnya. 

Enam bulan yang lalu, aku sedang menonton televisi bersama Rei, tiba-tiba Zahra berlari kearahku sambil menangis terisak-isak, dia berkata “Pa, sholihah hilang!”. Aku panik, jujur. Aku sempat berpikir, apakah Sholihah itu teman sekelasnya, atau gurunya atau penjual ketoprak kesukaannya. Aku tidak tahu. Yang aku tahu, Sholihah hilang!. Gawat!. Aku hampir menghubungi polisi seandainya saja Rei tidak memberitahuku kalau Sholihah itu nama kucing kesayangan Zahra.

Namaku Firman, aku bukan seorang pencerita yang handal, seperti Bapak yang ‘orang bilang’. Tapi setidaknya, aku tak butuh titel ‘pencerita yang handal’ untuk sekedar  membaca dongeng buat anak-anakku, bukan?. Anak-anakku menyukai seluruh ceritaku, cerita dari seorang Papa yang bukan pencerita yang handal, mungkin itu lebih baik, oke double baik, dari sekedar yang ‘orang bilang’. Pernah sekali, aku telat pulang kerumah, tak seperti hari-hari biasanya. 

Hari itu, aku memimpin rapat di Malaysia,salah satu staf pribadiku mengusulkan membuka objek wisata bertema Indonesia, di Kuala Lumpur. Dalam kamus bisnisku, aku harus terjun sendiri dalam pemilihan tempat, penentuan segala macam. Aku tidak suka segala sesuatu yang tidak sesuai dengan seleraku, aku ‘rewel’, dan itu sebuah pernyataan. Pesawatku delay 2 jam, cuaca buruk. Meskipun aku memaksa seperti biasa, tetap saja tidak bisa, pada waktu cuaca buruk tidak dapat dilakukan penerbangan.

 Aku tiba dirumah, hampir tengah malam. Aku segera menuju anak tangga, pikiranku hanya dua, kamar Reihan dan Zahra. Baru satu anak tangga yang aku pijaki, aku merasakan, aku tahu, aku melihat mereka. Mereka disana, di meja makan, tertidur. Anak-anak nakal, tidak mau makan kalau tidak ada Papa. Malah menunggu berjam-jam. Malam itu, ada buliran airmata yang tiba-tiba jatuh, aku sayang mereka. Aku rindu Bapak, aku teringat Bapak. Aku menangis.

Aku tahu, banyak yang bertanya-tanya, karena aku adalah seorang  Firman,  pengusaha muda yang kaya raya. Mengapa tidak mencari pendamping hidup?  Mengapa tidak membayar seorang pekerja rumah tangga saja? Menyewa bodyguard? Bahkan satpam, untuk rumah sebesar itu tidak ada?. Aku tahu apa yang orang-orang pikirkan, sayangnya, aku tidak hidup atas dasar ‘pikiran orang-orang’. Aku tidak hidup atas dasar yang ‘orang bilang’. Aku hidup atas apa yang aku temukan, dan aku ‘cukup’ bahagia. Typo. Kami, aku dan anak-anakku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun