Berada di tengah-tengah. Secara pribadi, saya agak skeptis dengan ujaran tersebut. Mengapa? Ungkapan berada di tengah-tengah, seolah-olah bentuk dari keputusasaan dan apatisme yang terselubung karena tak punya nyali untuk menentukan pilihan. Biasanya teman-teman saya menyebutnya “nyari aman” yang sepertinya satu aliran dengan ujaran di awal paragraf. Akan tetapi, setelah merasakan pada posisi tengah, sepertinya saya punya makna lain terhadap berada di tengah-tengah.
Untuk itu, mohon maaf bila tulisan ini akan tiba pada kesimpulan yang berpihak. Bukan tak mau berada di tengah-tengah yang hanya mengamati lalu kembali menikmati hidup tanpa berempati, namun ada kisah yang sepatutnya saya bagikan di awal 2016 ini sebagai pengingat saja.
Adalah William Wallace, legenda asal Skotlandia yang menorehkan kisah heroik tak hanya bagi rakyat di sana, namun bagi kita yang turut mengikuti ceritanya. Sebagian besar dari para pembaca mungkin sudah pernah menyaksikan kisahnya dalam film berjudul Braveheart (1995) yang dibintangi oleh Mel Gibson. Menurut saya, ini salah satu film terbaik di antara sekian banyak film sejenis. Film ini dirilis 24 Mei 1995 dan mendulang sukses dengan mengumpulkan pendapatan bersih lebih dari 200 ribu Dollar AS. Sebuah pembuktian bahwa film ini sangat inspiratif dan layak untuk ditonton.
Primae Noctis merupakan salah satu penyebab adanya pemberontakan di Skotlandia. Kebijakan aneh itu membolehkan pejabat Inggris yang ada di Skotlandia boleh ‘mengawini’ perempuan yang baru saja melaksanakan pernikahan, umumnya korban adalah kalangan petani (dari dulu kaum petani selalu saja marjinal, tanya kenapa?). Meski beberapa sejarawan (khususnya Inggris) meragukan adanya kebijakan yang populet pada abad ke-13 tersebut, namun tanpa adanya latar cerita yang dramatis, maka kisah heroik Sir William Wallace hanya akan menjadi bualan yang tak inspiratif. Maka tak heran bila di awal film Braveheart dibuka dengan narasi; “ Saya akan menceritakan kepadamu tentang William Wallace. Para sejarawan Inggirs mungkin akan berkata bahwa saya adalah seorang penipu. Tetapi sejarah ditulis oleh mereka (yang pahlawannya telah digantung)”.
Sebetulnya William Wallace tidak berpikir untuk memimpin sebuah peperangan, apalagi yang dilawan adalah tirani Inggris yang kekuatan perangnya sedang berjaya. Dia justru ingin pulang ke tanah kelahirannya, menjadi petani, lalu menikah dengan cinta lamanya (dilakukan secara diam-diam demi menghindari Primae Noctis). Namun, segalanya berubah, ketika serdadu Inggris datang menyerbu desanya. Sangat disayangkan istri dari William Wallace tertangkap dan dibunuh oleh para serdadu. Tak lama larut dalam kedukaan, William Wallace kemudian memulai berperang untuk merebut kebebasan dari praktik-praktik dzalim penguasa yang kemudian secara lambat laun membuat rakyat Skotlandia turut bergabung.
Salah satu kemenangan penting dalam peperangan yang dipimpin oleh William Wallace adalah perang Stirling Bridge (11 September 1297). Berhadapan dengan pasukan Inggris yang berjumlah lebih banyak serta memiliki persenjataan yang lengkap, tentunya bakal membuat pasukan lain jiper dan kemudian mundur. Namun, berkat kepiawaian William bertutur kata, akhirnya para anggota pasukan Skotlandia terbakar semangatnya dan memenangkan peperangan.
Atas aksinya, pemimpin Skotlandia saat itu (Robert de Bruce) hendak memberikan titel kepada William. Namun, dia menolak dengan alasan bahwa seorang pria sejati tidak mengikuti gelar, namun mengikuti keberanian. William tetap melanjutkan perjuangannya hingga akhirnya dia tewas dipenggal. Kadang inilah yang menjadi godaan bagi para pemimpin, selain dari harta dan selir.
Terlepas dari benar atau tidaknya kisah ini, namun ada beberapa kisah lain yang memiliki kemiripan alurnya. Dalam Islam akhirt tragis seperti kisah William Wallace di atas sering disebut syahid, atau arti umumnya adalah seseorang yang mati membela apa yang ia yakini untuk kebenaran dan kebaikan. Kita tahu ada peristiwa Archilles di Yunani, peristiwa Asyura di Karbala, Malcolm X di AS, Alm. Munir yang wafat secara misterius, Salim Kancil yang tewas mengenaskan, hingga ulama Syekh Nimr Al-Nimr di Arab Saudi yang dieksekusi karena memperjuangkan keadilan dan para syuhada lainnya yang tak tersebut. Semuanya berlatar sama yakni melawan kekuatan yang lebih besar dan di pihak mana mereka berada. Sekali lagi, di luar benar atau salah, nyawa mereka hilang di tangan sesama.
Perjuangan dalam terminologi syahid pada praktiknya memang berbeda. Dengan kata lain, kelompok radikal yang belakangan ramai pun mengkategorikan berbuat kacau di sana-sini adalah sebagai bentuk dari keinginan untuk syahid itu sendiri. Pada akhirnya, berada di tengah-tengah bukanlah tidak bersikap. Tetapi meresapi lebih dalam akan apa yang terjadi (di setiap waktu). Kedalaman itulah yang perlu disandingkan dengan keluasan ilmu, hati dan pikiran yang terbuka untuk menyikapi dan memutuskan di mana kita berada. Bagaimana dengan Anda? Apakah Anda betul-betul berada di tengah atau Anda hanya seorang pecundang yang malas untuk menentukan sikap? Ingat, berada di tengah-tengah berarti Anda akan melihat seluruhnya yang ada di sekeliling, tidak seperti di pojok kanan, kiri, depan, belakang (kalau atas sudah beda dunia hehehe).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H