Mohon tunggu...
Dicky Ahmad
Dicky Ahmad Mohon Tunggu... wiraswasta -

FUN

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jalan yang Dipilih

25 September 2015   16:07 Diperbarui: 25 September 2015   16:13 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Akhir pekan lalu saya membaca beberapa esai dari Bertrand Russell. Singkatnya, dia adalah pengarang dari buku “Russell on Religion” atau diterjemahkan menjadi “Bertuhan Tanpa Agama”. Dari beberapa esai tersebut, saya masih belum bisa memahami akan pondasi keyakinan dari seorang Russell itu sendiri.

Dalam pemikiran yang tertuang pada bukunya tersebut, Russell mengatakan bahwa iman adalah sebuah kejahatan karena telah menaruh kepercayaan kepada sesuatu yang meragukan. Menurutnya, sesuatu kebenaran yang mutlak adalah pasti dapat diterima secara universal oleh setiap manusia yang berakal. Agama memiliki kelemahan bahwa sesuatu yang tak pasti dijadikan sandaran tanpa ada pembuktian dalam tabel perkalian.

Russell adalah seorang agnostik, dimana dia menunda untuk percaya pada Tuhan, Nabi, dan hari Akhir hingga ada hal-hal yang dapat dibuktikan kebenarannya. Dia mencontohkan bahwa untuk berbuat baik tak perlu melibatkan agama, cukup dengan rasa empati saja manusia dapat melakukannya. Sampai pada kalimat tersebut, saya makin bisa melihat celah kelemahan dari konsep Agnotisme Russell tersebut. Agnostik di sini tak berarti tidak percaya Tuhan, namun mereka menolak konsep agama yang dogmatis.

Bila kebenaran (Tuhan) itu mutlak, maka wahyu-Nya mesti diturunkan kepada manusia yang luar biasa (Rasul). Kita, sebagai manusia yang tidak luar biasa tentu punya kelemahan dalam mencerna sesuatu yang mutlak. Untuk itu, manusia biasa membutuhkan instrumen untuk memahami wahyu-wahyu tersebut yakni ajaran dan aturan (agama dan mazhab).

Agama, adalah sekumpulan aturan, baik itu parsial maupun universal. Kemudian ada istilah mazhab, yang dalam bahasa Arab berati jalan yang dilalui. Artinya, masing-masing manusia biasa memiliki persepsi subjektif terhadap wahyu. Di sinilah Russell mengingkari relativisme dalam beragama –atau mungkin dia tak tahu-. Bahwa manusia biasa memang tidak bisa menandingi manusia yang luar biasa. Mereka hanya bisa mendekati dengan sedekat mungkin. Pernyataan Russell tentang berbuat baik tak perlu agama justru merupakan sebuah persepsi subjektif akan kebenaran mutlak itu sendiri.

Wahyu terbagi menjadi dua: wahyu transenden dan wahyu imanen. Wahyu transenden adalah wahyu yang diturunkan Tuhan kepada para Nabi, sedangkan wahyu imanen adalah wahyu berupa logika yang terintegrasi di dalam setiap manusia, inilah pembeda manusia dengan mahluk lain. Dari logika inilah muncul nilai-nilai baik, sempurna, adil, patut, dan sebagainya.

Nilai Agnostik

Jika Anda muslim, tentu harus mengikuti pondasi yang ada dalam Islam; Akidah, Syariah, dan Ahlak. Bila tidak ada salah satunya, maka tidaklah sempurna keimanannya. Begitupun pada agama lain, tentu memiliki pondasi-pondasi semacam itu. Agnostik secara umum berada di luar ingkaran agama. Mereka memposisikan tidak pada salah satu dari percaya atau tidak percaya tapi juga menerima prinsip probabilitas atau kemungkinan. Konsep turunan dari Agnostik ini beragam, mulai dari Agnostik murni hingga Agnostik Ateis. Nilai dari Agnostik terletak pada verifikasi bukti-bukti kebenaran mutlak. Mereka tidak menerima begitu saja dogma dan doktrin agama menjadi way of life. Akan tetapi terus mencari kebenaran hingga mereka menemukan bukti secara empiris (nyata), dan saya menghormati akan proses yang mereka ambil.

Kembali ke pemahaman awal, dalam proses pencarian kebenaran, kita sebagai manusia butuh instrumen yakni wahyu transeden (agama) dan wahyu imanen (logika/mazhab), artinya solusi dari proses pencarian kebenaran oleh kaum Agnostik justru ada di kedua instrumen tersebut. Janganlah menjadi Agnostik hanya karena melihat penyimpangan atas nama agama, jika begitu namanya pengecut dan hanya mencari pelarian. Tapi jadilah Agnostik yang secara sadar itu adalah jalan yang dipilih.

Bagaimana dengan Ateis? Saya tak akan membahasnya lebih lanjut, karena singkatnya mereka memang tak percaya adanya sesuatu yang maha besar, bukan god of gaps-nya Agnostik (lebih jelas silakan cari artikel-artikel tentang Agnostik, Ateis, Gnostik, dan Teis). Keteraturan membuat segala sesuatunya berjalan dengan baik, di kuadran manapun Anda berada, siaplah dengan konsekuensinya. Yang manakah Anda? ;

  1. Bertuhan dan beragama.
  2. Bertuhan tanpa beragama.
  3. Beragama tanpa bertuhan.
  4. Tidak bertuhan dan tidak beragama.

Wallahu A’lam Bishawab

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun