Mohon tunggu...
Dicky Ahmad
Dicky Ahmad Mohon Tunggu... wiraswasta -

FUN

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Cicak, Tai, dan Rejeki

1 Mei 2013   15:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:18 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Inspirasi memang datang seperti kentut, sulit untuk mengendalikannya. Bukan tidak bisa, tapi sekali lagi, sulit. Sama seperti yang hendak Saya tulis berikut, ide dasarnya didapatkan bukan dalam proses kesengajaan, meskipun secara biologis semuanya normal. Menghirup dan mengeluarkan oksigen hingga keluarnya kentut saat inspirasi tersebut diserap.

Ide ini berasal dari orang-orang di luar Saya. Di sini, Saya mencoba mengambil intisari dari ide keseluruhan mengenai Cicak, Tai, dan Rejeki. Sebelumnya, berapa kali Anda menyaksikan film yang mengangkat tema tentang hidup maupun mati? Rasanya hampir seluruh film mengandung dua unsur tersebut, meskipun tidak secara gamblang mengangkat tema itu. Ya, hidup dan mati, sering diafiliasikan dengan pertanyaan mengapa dan untuk apa. Jawabannya mungkin beragam, tergantung dari seberapa sadar manusia yang menerimanya. Bagi seorang guru, jawabannya bisa jadi mendidik sebanyak mungkin manusia muda untuk dipersiapkan sebagai generasi penerus yang berkualitas dan berdaya saing. Akan tetapi, bagi seorang penjudi, hidup adalah untuk mendulang banyak pemasukan dari poin-poin judi yang ia pasang. Manfaatnya? Tentu ada, lihat dulu dari skalanya.

Secara pribadi penjudi memberikan manfaat bagi pelaku judi lainnya. Jika tersentralisir, tentu warung-warung rokok pinggir arena judi akan kecipratan rejeki. Belum lagi dukun tempat penjudi meminta saran, tentunya akan turut mengipaskan lembaran rupiah hasil praktik konsultasinya.

Sebagian manusia sering berpikir hidup ini sangat tai. Bagaimana ketidakadilan menurut mereka sudah menjadi bagian hidup keseharian. Si kaya, si miskin, si tai, memiliki pandangan tersendiri bagi konsep ketidakadilan. Bagaimana jika dialihkan? Seberapa banyak dirubah menjadi seberapa besar manfaat hidup. Ini sering luput dari kita sebagai mahluk yang penuh nafsu. Keadilan menurut hemat Saya berlaku menjadi sistem sirkuler. Tai, yang menurut banyak orang tidak estetis, buruk, dan bau sangat dihindari oleh manusia. Padahal, mereka juga memproduksi tai setiap hari.

Tai, bisa juga dikatakan rejeki. Coba lihat perusahaan yang bergerak di bidang jasa sedot wc. Berapa banyak karyawan yang bergantung rejeki pada tai. Sungguh, inilah keadilan rejeki yang sudah dijanjikan. Anda tahu cicak? Binatang reptil yang termasuk ke dalam suku Gekkonidae ini banyak juga dihindari oleh manusia. Namun apa manfaatnya sudah jelas, makanan utama mereka adalah nyamuk, dan nyamuk itu musuh besar manusia saat tertidur. Jika manusia terganggu tidurnya oleh nyamuk, niscaya esok hari tidak akan maksimal dalam beraktivitas.

Cecak atau cicak ini juga mengalami konsep keadilan rejeki. Bagaimana tidak, cicak yang tidak bisa terbang justru makanan utamanya adalah nyamuk yang bisa terbang. Cicak tidak mungkin mengeluh dan meminta mereka bisa terbang bebas untuk mengejar mangsanya, nyamuk. Tapi, dengan segala sistem yang terbentuk secara natural oleh Sang Penguasa, semuanya bisa berjalan layaknya mesin, teratur dan seimbang.

Itulah keajaiban rejeki. Hal yang paling sering disebutkan di seminar-seminar motivasi. Yang nyatanya, manusia sudah dijatahi masing-masing tanpa harus rebutan rekor rejeki. Bagi yang memiliki rejeki lebih sedikit tentu bukan diharuskan menghasilkan keluhan-keluhan baru. Namun, memperbaiki kualitas diri sebagai bentuk persiapan menerima rejeki baru dalam jumlah yang lebih besar, itu yang paling bijak (saat ini…).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun