Mohon tunggu...
Dicky Ahmad
Dicky Ahmad Mohon Tunggu... wiraswasta -

FUN

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sirkulasi Bahagia

16 September 2013   13:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:49 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1379313045351387920

[caption id="attachment_288577" align="aligncenter" width="500" caption="Happy ?"][/caption] Kata Fatamorgana berasal dari nama saudari Raja Arthur, Faye le Morgana, dimana Faye le Morgana adalah seorang peri yang bisa berubah-ubah rupa. Dalam beberapa literatur, Morgan memiliki kekuatan untuk menyembuhkan. Beberapa gerakan feminisme di dunia pun mengambil sosok Morgan sebagai simbol mereka. Tak terlalu bersinggungan memang dengan kata Fatamorgana. Tapi memang filosofis cerita Morgan yang digambarkan sebagai peri yang bisa berubah-ubah rupa cukup menjadi dasar kesepakatan dari kata tersebut. Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia Fatamorgana (fa.ta.mor.ga.na) adalah gejala optis yang tampak pada permukaan yang panas, yang kelihatan seperti genangan air; atau dalam arti lain ialah hal yang bersifat khayal dan tidak mungkin dicapai. Di beberapa mitos lokal benua Eropa, Fatamorgana sering diasosiasikan dengan hal gaib. Mulai dari istana yang mengapung hingga cerita “The Flying Dutchman” dimana cerita tersebut mengisahkan sebuah kapal hantu yang terus berlayar dan tak pernah menepi. Usaha dan Tenaga “Selamat datang di dunia…” adalah penggalan dari lirik lagu Fatamorgana yang dibawakan oleh band Netral. Dengan dentuman musik yang bersemangat, lagu tersebut sedikit mengingatkan kepada manusia ‘baru’ bahwa dunia adalah sebuah perjalanan fatamorgana. Dunia juga diibaratkan sebagai surga, surganyanya hawa dan nafsu. Bukan tanpa sebab, jika kita berpikir sejenak dan mulai bertanya, “apa yang kita kejar di dunia?” Maka beribu jawaban hadir di dalam benak. Dua hal yang mendorong manusia begitu bernafsu mengejar dunianya adalah; menyesali masa lalu dan mengkhawatirkan masa depan. Wajar saja, karena manusia sejatinya mahluk materi, segala sesuatunya harus berdasarkan empiris terlebih dahulu, yakni tertangkap oleh penginderaan. Hal itu erat kaitannya dengan kebiasaan. Manusia cenderung untuk mempertahankan kebiasaan dan menolak adanya perubahan, apalagi yang radikal. Sebagai contoh, jika suhu tubuh tiba-tiba turun 20 derajat, atau keasaman darah turun beberapa PH, kita akan mati seketika. Tubuh dan otak kita mempunyai kontrol untuk menjaga keseimbangan yang disebut ‘homeostasis’. Ketika kita mengalami perubahan, maka sensor-sensor ‘kebiasaan’ di jaringan syaraf kita akan memperingatkan otak dan sistem tubuh akan mengambil tindakan untuk mengembalikannya ke kondisi stabil. Ini dapat menjelaskan mengapa banyak orang yang berusaha berubah tetapi kembali lagi ke kebiasaan lamanya. Perumpamaan dunia dalam kitab suci orang muslim adalah sebuah ladang yang tandus, lalu turun hujan yang menyebabkan lahan tersebut subur. Kemudian muncul beberapa tanaman yang bisa dipanen kemudian layu dan lahan tersebut tandus kembali. Rasa bahagia muncul sebagai penengah dari keinginan dan kebutuhan. Ini berarti segala kesenangan tersebut menjadi sebuah syarat dari kebahagiaan. Dengan kata lain, bahagia yang dimaksud adalah bahagia yang terus menerus berulang (kebiasaan) dan membuat kita kehilangan fokus, dalam menjawab untuk apa sebetulnya kita berada di sini (dunia). Mari sejenak kita pejamkan mata dan hirup dalam-dalam udara melalui hidung, lalu rasakan bahwa betapa bahagia tersebut memang seharusnya tanpa syarat.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun