ENTAH kenapa aku mau datang ke sekolah malam-malam begini.
Atau sebenarnya aku tahu, hanya saja aku tak mau mengakuinya. Aku harus datangsupaya masalah itu tidak tersebar. Tidak, aku tidak inginmasalah itu sampai tersebar dan kedengaran semua orang terutama orang tuaku. Mereka sudah menaruh harapan begitu besar padaku, dan selama ini aku sudah menjaganya dengan prestasi yang kuraih dengan susah payah. Skandal mengerikan seperti ini sudah pasti akan memukul perasaan mereka.
Kenapa bisa ada yang tahu masalah ini? Kenapa bisa ada yang tahu selain mereka-mereka yang terlibat? Aku tahu, tak ada satu pun diantara kami yang akan menceritakannya kepada orang lain. Kami semua telah membuat kesalahan yang teramat besar, dan sebagian dosanya lebih besar dari pada yang lain. Tapi kami semua berada dalam posisi yang sama. Kami sama-sama takut masalah ini tersebar. Dan tak ada satu pun diantara kami yang sudi membocorkannya pada orang lain.
Kecuali cewek itu. Tapi masa dia...?
Tidak. Dia pun tak akan membocorkan masalah ini pada orang lain. Justru dialah yang paling bersalah, kalau memang ada posisi seperti itu diantara kami. Dan tak mungkin dia akan membocorkannya pada orang yang paling berbahaya, kalau dilihat dari hubungannya dengan orang-orang yang sudah kami celakai itu.
Lalu, kenapa orang itu bisa tahu tentang perbuatan kami?
Koridor sekolah terlihat mengerikan pada malam hari. Pada siang hari, koridor ini dipenuhi murid-murid dari berbagai kelas, semuanya bergerombol dan berisik. Tanpa semua murid-murid itu, koridor ini terlihat panjang, mengerikan, dan tak berujung. Padahal, sekarang belum malam-malam banget. Senja baru saja turun. Di kejauhan masih ada semburat merah muda yang cantik.
Aku menarik nafas, lalu berjalan menyusuri koridor. Menuju Ruang Kesenian.
Ruangan yang remang-remang itu tampak tidak menyenangkan. Patung-patung manusia yang baru dibuat anak-anak kelas XI IPS-2 ditutupi seprai putih yang membuat patung-patung itu tampak bagaikan sosok-sosok hantu yang menjulang ditengah-tengah ruangan. Aku bahkan takbakalan tahu kalau salah satu sosok itu berisi manusia biasa.
Astaga, bagaimana kalau salah satu sosok berselubung itu benar-benar manusia?
Berhubung patung-patung itu begitu banyak, aku tak akan bisa mengeceknya satu per satu. Apalagi satu-satunya yang kuinginkan adalah keluar secepatnya dari tempat gelap yang tak menyenangkan ini, segera setelah aku menyelesaikan urusanku.
“Halo?” tanyaku, dan suaraku langsung bergema di ruangan kosong itu. “Ada orang disini?”
Tadinya aku sengaja tak menyebutkan nama, tak ingin ada pihak-pihak yang tak berkepentingan yang mengetahui urusanku. Siapa tahu ada penjaga sekolah lewat atau barangkali guru BP kami yang raksasa itu, Pak Rufus, sedang bertengkar dengan ibunya yang pemarah dan memutuskan untuk menginap disekolah. Siapa tahu.
Tapi pertanyaanku tidak mendapat jawaban sama sekali, dan aku mulai takut. Bukan karena suasananyamengerikan. Masalahnya, kalau ditanya, sulit bagiku untuk menjaga kerahasiaan masalah ini, apalagi kalau sampai ada mulut bocor diantara kami. Seandainya saja ada orang yang mau menemaniku datang ke sini malam ini. Sialnya, semua orang yang terlibat tidak bisa kuhubungi.
Kebetulankah? Atau ada sesuatu yang telah menimpa mereka?
Oke, aku mulai berharap Pak Rufus dan Pak Jono, si penjaga sekolah mermuka tikus, mendadak muncul lalu menangkapku. Setidaknya, aku jadi punya alasan untuk pulang.
“Halo?” panggilku sekali lagi dengan suara gemetar. Sial, aku kan cowok. Masa suaraku seperti pengecut begini? Aku mengumpulkan semua nyaliku dan membentak, “Halo!!!”
Tetap saja tak ada jawaban.
“Ini gak lucu!” ucapku dengan nada semarah mungkin. “Kalo lo Cuma mau ngerjain gue, sori, gue nggak ada waktu buat ngeladenin elo. Mendingan gue pulang sekarang juga!”
Aku sudah berjalan ke pintu saat lukisan itu menarik perhatianku. Lukisan yang dibuat dalam rangka pameran lukisan yang diadakan sekolah kami. Aku tahu, lukisan itu milik Rima. Rima si anak kelas sepuluh yang kurus dan jelek dengan rambut panjang mengerikan, cewek lemah yang biasanya jadi bahan tertawaan kami, anak-anak populer. Tapi entah kenapa Rima dinobatkan sebagai pelukis paling berbakat di sekolah kami. Padahal lukisannya tak bagus-bagus amat kok. Agak seram, Sebenarnya.
Seperti lukisan ini. Ada sebuah sosok yang mirip manusia, mungkin laki-laki, menyeret dirinya keluar dari sebuah pintu, sementara sosok lain yang mirip monster sedang mengayunkan parang besar dibelakangnya. Darah berceceran dilantai, yang tentunya berasal dari kaki si sosok laki-laki yang sudah buntung. Lukisan itu dibuat dengan sapuan cat minyak yang lebih mirip corat-coret orang sinting ketimbang lukisan orang berbakat...
Tunggu dulu. Kenapa sosok yang mirip laki-laki ini berambut pirang?
Kuangkat tanganku untuk menyisir rambutku yang dipotong shaggy dan dicat warna pirang. Jantungku main berdegup keras saat melihat jam tangan bertali krem di pergelangan tangan sosok itu, yang tampak mirip dengan jam tangan yang melilit di pergelanganku. Tadi pagi waktu aku melihat lukisan ini, rasanya belum ada detail-detail kecil ini.
Masa sih...?
Aku mendengar bunyi dibelakangku dan langsung berbalik. Nafasku tercekat melihat salah satu patung berselimut seprai itu berputar perlahan-lahan hingga menghadapku. Lalu, bagaikan gerakan robot, patung itu mendekatiku.
Dari balik seprai menyembul sesuatu yang ku kenali sebagai parang besar.
Oh, Tuhan!
Tanpa berpikir panjang, aku membuka pintu Ruang Kesenian dan mulai berlari. Sementara itu, pikiranku dihantui gambar lukisan itu.
Lekaki berkaki buntung. Darahnya berceceran di mana-mana. Monster bersenjata parang siap membacok kepala si kaki buntung dari belakang.
Oh, tuhan, kenapa kondisiku sekarang mirip sekali dengan lukisan itu? Mendadak terlintas di kepalaku kata-kata teman-temanku saat melihat lukisan itu. Kata-kata yang tadinya kukira hanya gosip belaka.
“Terkadang Rima bisa menggambar sesuatu yang akan terjadi lho.”
Tidaaakkk! Aku nggak mau berkaki buntung! Aku nggak mau mati dibacok monster bersenjata parang! Masa depanku seharusnya indah, seharusnya gak seperti ini...!
Tolong! Tolong aku!
Aku tersandung dan terjatuh. Celaka. Lantai koridor ini memang terbuat dari sederetan papan, dan kebanyakan papan ini sudah tua dan agak menyembul dari posisi yang seharusnya. Aku berusaha bangkit, tapi lalu sesuatu menghujam kakiku.
Aku menjerit keras-keras. Sakit, rasanya sakit sekali. Ibu, tolong aku! Ibuuu....
Aku berusaha bangkit dan merangkak. Dengan sisa-sisa tenaga, aku tetap berusaha melarikan diri dan menyelamatkan nyawaku. Tapi sesuatu menghalangiku. Sesuatu yang lengket dan membuatku nyaris tak bisa bergerak, sesuatu yang kemudian kusadari sebagai darahku sendiri, yang membentuk genangan besar di atas lantai.
Seharusnya tidak seperti ini. Seharusnya tidak begini. Tak mungkin aku berakhir sesuai lukisan yang dibuat cewek jelek dan konyol itu.
Tapi aku memang sudah bersalah. Aku sudah melakukan kesalahan yang amat sangat besar, dan aku layak dihukum karenanya, Aku tahu semua ini pasti akan ada karmanya. Tapi aku tidak pernah menduga akan menerima karma yang begini tragis.
Telingaku terasa teredam, setiap suara terdengar bagai bunyi stereo yang memenuhi indra pendengaranku. Suara kaki yang terseret-seret dengan berat, seolah-olah kaki itu terbuat dari tanah liat atau besi. Suara tawa puas yang menggema diseluruh kepalaku.
“Inilah hukuman yang harus kaujalani selamanya.”
Aku berhenti merangkak dan mendongak, menghadap sosok yang ditutupi kain berlapis-lapis itu. Aku tidak bisa melihat apa-apa karena pandanganku begitu buram, bukan hanya kesadaranku yang mulai lenyap, melainkan juga karena air mata yang menggenang dipelupuk mataku. Melalukan, aku tahu, tapi tidak lebih memalukan daripada air kencing yang kini membasahi celanaku.
Meski begitu, aku tetap menyadari satu hal. Tadi aku dikejar dari belakang, dan kini dia berdiri dihadapanku.
Hantukah ini?
“Siapa kamu?” isakku. “ Mengapa kamu lakukan ini terhadapku?”
“Alasanku sudah jelas, untuk menghukummu atas dosa-dosa setahun yang lalu.”
“Tapi apa kaitanmu dengan dia...?”
Aku tidak pernah mendengar jawabannya. Sebab, tahu-tahu saja, seluruh hidupku bagaikan ditelan kegelapan.
Cerpen ini diambil dari prolog sebuah Novel karya pengarang favorite saya Lexie Xu yang berjudul "TUJUH LUKISAN HOROR"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H