Penduduk Indonesia dikejutkan dengan apa yang disampaikan Presiden RI yang menggagas ide pemindahan pusat pemerintahan RI dari Jakarta ke Kalimantan Timur pada awal tahun 2019. Situasi fenomenalnya adalah karena gagasan tersebut tidak bereferensi pada dokumen perencanaan apapun, yang berlaku pada periode berapapun. Keadaan ini semakin fenomenal ketika secara politik gagasan tersebut mendapat dukungan mayoritas politisi di lembaga legislatif yang pada gilirannya bermuara pada terbitnya UU IKN.
Pada awalnya ketika pertama kali wacana pembangunan IKN baru mencuat, pemerintah mengatakan bahwa pembiayaan pemindahan IKN tidak akan berasal dari utang. Pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 18 Tahun 2019 tentang RPJMN 2020-2024 disampaikan bahwa total biaya pembangunan IKN mencapai 466,98 triliun rupiah. Skema pembiayaannya berasal dari APBN Rp 89,4 triliun (19,2%), kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU) sebesar Rp 253,4 triliun (54,4%), dan swasta Rp 123,2 triliun (26,4%).
Meskipun Pemerintah mengatakan tidak akan membebani APBN, nyatanya publik ragu karena dalam skema pendanaan, APBN tetap menjadi salah satu sumbernya. Apalagi beberapa waktu sebelumnya, Pemerintah juga berjanji tidak akan menggunakan dana APBN dalam pendanaan proyek kereta api cepat, tetapi akhirnya mengambil dana dari APBN juga. Dampak penggunaan APBN dalam pembiayaan IKN adalah pertama, beban hutang akan semakin meningkat. Kedua, kapasitas APBN dan ruang fiskalnya akan makin sempit. Ini mengingat pembangunan IKN adalah proyek jangka panjang sehingga dana yang cukup besar akan dipotong sepanjang tahun dari APBN.
Ketiga, Pemerintah RI harus menekan defisit anggaran di bawah 3%. Dalam kondisi tekanan eksternal cukup kuat, seperti fluktuasi nilai tukar rupiah dan naiknya suku bunga, serta inflasi dalam negeri, sedangkan masih harus membangun IKN, pemerintah disinyalir tidak punya cukup ruang fiskal untuk mengatasi tekanan tersebut. Padahal, pemindahan IKN ini dilakukan saat utang negara meningkat, bahkan hingga 525% sejak 10 tahun terakhir. Â
Keempat, dengan kondisi saat ini, pemerintah akan kesulitan mencari porsi pendanaan sebesar 54,4% dari KPBU. Terlebih lagi dalam kondisi pasca-pandemi Covid-19 di mana perekonomian negara masih tertekan, ditambah lagi prediksi IMF bahwa  akan terjadi perlambatan ekonomi global terjadi akibat  perang  di  Rusia-Ukraina,  juga naiknya  harga-harga  bahan  kebutuhan pokok,  yang  mendorong  para  investor untuk berinvestasi di aset-aset yang aman. Seperti mundurnya SoftBank Group Corp sebagai investor IKN pada Maret 2022 kemarin.Â
Apalagi, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono secara terang-terangan mengatakan bahwa saat ini belum ada realisasi investasi dari pihak swasta di IKN atau secara sederhananya belum ada satupun investasi yang masuk.
Oleh karena itu kebijakan pemindahan IKN ini  dalam jangka pendek akan membuat peran Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) bersama swasta makin terbatas ruang pendanaanya. Peran dominan pembiayaan negara melalui APBN akan tetap dituntut lebih signifikan. Seperti pada 2022, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati hendak menggunakan anggaran pemulihan ekonomi nasional (PEN) sebesar Rp178,3 triliun untuk pembangunan IKN.
Akan tetapi, kalaupun pemerintah berhasil menarik investor untuk turut serta dalam pembiayaan skema KPBU dan swasta, ancamanpun tidak lepas dari hal ini. Badan Otorita IKN telah menyiapkan berbagai macam skema kerja sama sesuai dengan selera dan skala pelaku usaha (investor). Misalnya, investasi langsung berupa kerja sama pemanfaatan aset, skema bangun-guna, serta kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU). Pada pembangunan sektor komersial adalah seperti pusat perbelanjaan, hiburan, serta kawasan mixed-use untuk hunian, perhotelan, dan perkantoran. Pada sektor esensial adalah seperti pendidikan, kesehatan, energi, dan telekomunikasi. Semua itu akan ditawarkan ke pihak swasta.
Dalam skema pembiayaan IKN ini, swasta diberi kekuasaan sebesar 26% dalam proyek IKN. Masa konsesi bagi swasta dalam penggunaan hak bangunan di IKN pun memiliki jangka yang sangat panjang. Menurut isi kebijakan Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa terkait ringkasan RPP untuk kemudahan berusaha, hak guna usaha (HGU) diberikan untuk jangka waktu paling lama 95 tahun dan HGB diberikan untuk jangka waktu paling lama 80 tahun. Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia juga sempat buka suara terkait rencana pemerintah memberikan hak pengelolaan lahan ke investor di kawasan IKN Nusantara hingga 180 tahun.
Kerjasama dengan swasta harus dalam perlindungan yang berlapis-lapis mengantisipasi kemungkinan terburuk yang dapat terjadi. Hak swasta sebesar 26% atas proyek IKN bisa memengaruhi pertahanan dan keamanan jangka panjang, termasuk terhadap eksistensi negara.
Pasalnya, IKN bukan sekadar tata kota dan pelayanan negara yang baik, melainkan merupakan simbol dari kekuatan negara. Jika pihak swasta (investor) ikut membangun berbagai sektor strategis, apalagi terkait pertahanan keamanan negara, hal ini perlu diberikan kehati-hatian. Bukan hanya terhadap kepentingan bisnis, eksistensi kedaulatan negara juga dapat terancam. Pelibatan pihak swasta juga tidak boleh dianggap benar-benar netral. Selain ada risiko fiskal, juga ada risiko pembiayaan dan pertahanan keamanan. Artinya, pemerintah membutuhkan investor, tetapi dengan mempertaruhkan keamanan serta eksistensi kedaulatan negeri.