Dahulu, kereta kelas ekonomi pernah dijuluki sebagai "kereta rakyat", karena harga tiketnya yang relatif murah dibandingkan dengan jenis transportasi umum lainnya dan sangat terjangkau oleh kalangan masyarakat kelas menengah kebawah.
Meskipun dulu terdengar cerita, bahwa PT KAI sebagai pihak operator konon katanya selalu merugi selama mengelola kereta kelas ekonomi, karena biaya operasionalnya yang besar tak sebanding dengan pendapatan yang diterima dari konsumennya, sehingga pelayanan yang dapat diberikannya punmasih apa adanya dan dirasa kurang manusiawi. Namun, terlepas sisi keterbatasan yang dimilikinya, bagaimanapun juga kelebihan kereta kelas ekonomi padamasa itu adalah bilamana ada keperluan mendesak, kita masih bisa membeli tiket langsung pada saat akan melakukan perjalanan kereta, sekalipun harus berdesak-desakan.
Kini layanan transportasi kereta sudah berubah drastis, perubahannya jauh sekali, terutama semenjak direktur utama PT KAI dimasinisi oleh Ignatius Jonan. Secara bertahap pelayanan angkutan kereta kereta kelas ekonomi makin baik dari waktu ke waktu dan makin manusiawi.
Beberapa pembenahan yang telah dilakukan antara lain: jumlah penumpang dibatasi sesuai dengan tempat duduk,sehingga tidak ada lagi penumpang tanpa tempat duduk, kondisi kereta relatif lebih bersih dan nyaman, toilet sudah disediakan air yang mencukupi tidak seperti dulu toilet berisi penumpang dan tidak ada airnya, asongan yang lalu-lalang di kereta juga berkurang, begitu pula tukang ngamen, peminta-peminta tenaga pengamanan dan kebersihan yang disiapkan menemani selama perjalanan kereta, kereta sudah dilengkapi dengan fasilitas pendingin udara/AC dan colokan charger HP/Laptop, dan penjualan tiket lebih transparan karena bisa dilakukan secara online di internet atau beberapa agen-agen mitra seperti Indomaret, Alfamaret, Kantor Pos, Seven Eleven dsb.
Dengan mengadopsi beberapa sistem pengelolaan seperti yang ada pada perusahaan maskapai, diperkeretaapian mulai dikenal istilah-istilah seperti boarding pass, memasuki peron dengan menunjukkan tiket asli dan kartu identitas seperti yang berlaku di bandara, harga tiket yang fluktuatif untuk kereta kelas komersial, dan tarif flat untuk kelas ekonomi non komersial.
Berbagai perubahan tersebut menurut pendapat saya memang sudah sewajarnya dan selayaknya dilakukan, mengingat harga tiket yang dibayar oleh konsumen juga sudah mengalami penyesuaian tarif yang lebih wajar. Paradigma “bayar murah kok minta nyaman!” sepertinya sudah bukan jamannya lagi, masyarakat secara bertahap juga perlu diajak berfikir realistis bahwa “untuk menjadikan kereta ekonomi semakin nyaman, perlu dukungan pengertian dari konsumen untuk membayar harga tiket yang lebih pantas”.
Yan menarik perhatian saya, kenapa khususnya kereta kelas ekonomi non komersial, kereta yang berwarna “orange” sepertinya harganya pun juga mengalami kenaikan yang cukup signifikan seolah tak jauh bedanya dengan kereta yang kategori kelas ekonom AC komersial. Namanya saja "non komersial" berarti dalam pikiran saya memahaminya, seharusnya dalam pengelolaannya tidak ada motif profit seperti pada kereta kelas komsersial (ekonomi, bisnis, dan eksekutif), tapi lebih kepada misi membangun sarana transportasi massal. Yang terpenting dipikirkan bagaimana agar pengelolaan kereta kelas ekonomi tersebut tidak sampai menimbulkan kerugian bagi pihak PT KAI sebagai operator tunggal, namun di sisi lain juga tidak sampai memberatkan masyarakat konsumennya.
Untuk mencapai misi tersebut, maka tentu perlu campur tangan lebih banyak dari pemerintah melalui Direktorat Perkeretaapian Kementrian Perhubungan, karena Kementerian Perhubungan lah yang punya kewenangan dan tanggungjawab untuk mengembangkan agar kereta api bisa menjadi solusi kemacetan di darat dan sebagai salah satu bagian dari program pengembangan trasportasi massal.
Jika dilihat secara sekilas, sepertinya belakangan ini PT KAI justru kelihatan memiliki peran lebih dominan terhadap pengelolaan kereta-kereta kelas ekonomi non komersial daripada pihak Kementerian Perhubungan. Padahal dana APBN yang telah dibelanjakan oleh Kemenhub untuk mensuport sarana dana prasarana angkutan kereta api juga tidak sedikit. Jika angkutan kereta api kelas ekonomi menjadi angkutan yang dianggap mahal dan kurang terjangkau bagi masyarakat kelas bawah, tentu jadi kedengaran lucu. Sebenarnya apa peranan dan fungsi dari Direktorat Perkeretaapian Kementerian Perhubungan, jika keberadaannya tidak mampu mensejahterakan masyarakat di bidang penyediaan kereta api kelas ekonomi (non komersial) yang semakin hari semakin nyaman dan makin terjangkau di kalangan masyarakat kelas bawah.
Harga tiket naik, dan diimbangi dengan kualitas layanan yang semakin baik itu sudah sewajarnya demikian. Sebaliknya jika harga tiket tidak naik, tetapi bisa memberikan kualitas layanan yang semakin baik lagi dari sebelumnya, baru itu sebuah ide dan semangat yang luar biasa.
Oleh karena itu, Kementerian Perhubungan seharusnya punya peran yang lebih besar daripada PT KAI, khususnya dalam hal mengatur dan menentukan kebijakan pengelolaan kereta-kereta kelas ekonomi, agar keberadaan kereta ekonomi bisa dimanfaatkan untuk misi dan kepentingan yang lebih besar, "angkutan publik yang merakyat", karena pemerintah tidak berorientasi profit dalam membelanjakan anggaran belanjanya. Lain halnya dengan PT KAI yang bidang bisnisnya memang perlu memikirkan profit.
Tentu masyarakat akan bangga membayar pajak, bilaman salah satu pemanfaatannya bisa dirasakan langsung oleh masyarakat luas, salah satunya untuk membenahi kereta-kereta kelas ekonomi agar menjadi sarana transportasi yang berkelas dengan harga yang makin ekonomis/terjangkau masyakat.