Pengumuman kelulusan ujian nasional (UN) selalu memulai lahirnya dua sisi emosional yang sangat kontras. Di satu sisi, hampir sebagian besar pelajar yang mendapatkan kelulusan terutama di kota besar merayakannya dengan sukacita hura-hura yang terkesan berlebihan. Mulai konvoi kendaraan beramai-ramai yang bahkan membuat kisruh dan kemacetan dijalan hingga mencoret-coret baju seragam yang pada dasarnya masih bisa digunakan dangan baik untuk dismbangkan atau bahkan hal bermanfaat lain.
Di lain pihak, para pelajar yang tidak lulus menangis sejadi-jadinya, tak jarang kita dapatkan berita percobaan bunuh diri karena frustrasinya mereka gagl dalam ujian. Dua sisi perilaku pelajar kita seperti ini sangat disayangkan. Dunia pendidikan seharusnya jauh dari kejadian seperti di atas. Semestinya pendidikan mampu menciptakan karakter pelajar dengan pemikiran yang logis rasional dan mampu membentuk insan-insan terdidik dengan emosi cerdas.
Kecerdasan intelektual diraih namun mental para anak bangsa yang hampa non karakter. Tanpa karakter, manusia pun bisa unggul dengan kapasitas dan kapabilitasnya. Namun semakin dia cerdas, semakin tinggi kedudukannya, dan semakin kaya, maka semakin jahatlah dirinya. Sebab orang yang unggul tanpa karakter,yang muncul adalah tabiatnya. Sifat-sifat buruknya sebagai perilaku sehari-hari".
Selama ini sekolah formal semacam SMP dan SMA selalu menjadi tujuan utama orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya. Sedangkan sekolah-sekolah nonformal semacam asrama dan pondok pesantren selalu menjadi pilihan terakhir. Dengan alasan-alasan yang cukup lumrah dan manusiawi, pondok pesantren mendapatkan predikat sebagai sebuah lembaga pendidikan yang kolot, kumuh, dan jauh dari kemajuan jaman.
Sebaliknya, alumni pondok pesantren cenderung memiliki karakter yang kuat, namun gagap terhadap perkembangan dunia luar, dan kemampuan intelektualitasnya di bawah sekolah formal. Dan, kenyataannya adalah selama ini sekolah formal tidak mampu mengemban tugas untuk memberikan kebutuhan pendidikan karakter kepada para pelajar.
Mata pelajaran agama dan pendidikan kewarganegaraan pun semakin tahun kian berkurang porsinya. Hal yang semakin membuat miris adalah selain asupan mata pelajaran tersebut semakin sedikit, para pendidik pun tak mampu menerapkan nilai-nilai moral dalam setiap interaksi nyata terutama pada pertemuan-pertemuannya di kelas.
Pendidikan kita seharusnya tidak hanya sekadar penanaman intelektualitas semata. Tetapi juga penanaman karakter. Dengan begitu, kenakalan-kenakalan pelajar bisa segera terhapus dan tumbuhlah pelajar-pelajar yang cerdas nan santun
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H