Pertanyaan saya selanjutnya adalah, kenapa dia menghubungkan aksi tesebut dengan persoalan rokok? Selidik punya selidik, ternyata Elanto Wijoyono adalah salah seorang aktivis anti rokok di Jogja, sementara Kartolo adalah aktivis anti rokok di Jakarta. Mungkin mereka saling mengenal atau berjejaring sesama pegiat anti rokok.
Saya tak melihat relevansi arogansi antara pengguna Moge dengan perokok. Kalau perokok meminta haknya ada tempat khusus merokok di ruang publik, itu karena amanat UU Kesehatan pasal 115 ayat 1 memang menyebutkan hal tersebut. Jadi bukan arogan kalau perokok meminta itu, terkecuali memang aturan tersebut tidak ada atau aturan tersebut multi tafsir seperti aturan soal pengawalan polisi untuk kondisi darurat, yang berhubungan dengan konvoi Moge.
Saya justru curiga, ketika Elanto Wijoyono dan Kartolo menyinggung soal perokok adalah karena mereka mencoba memanfaatkan momentum popularitasnya tersebut, dan momentum publik yang mengapresiasi aksinya tersebut, untuk kepentingan kampanye mereka tentang anti rokok.
Jika mereka mau menghubungkan dengan rokok, seharunya mereka menyatakan bahwa asap knalpot yang ditimbulkan dari kendaraaan bermotor seperti Moge dan lain sebagainya, itu berbahaya bagi kesehatan. Mungkin itu lebih relevan bagi saya.
Kalau benar dugaan saya seperti itu, maka saya akan menarik apresiasi saya kepada Elanto Wijoyono. Bukan karena saya seorang perokok. Namun karena aksi heroiknya tersebut ditunggangi untuk kepentingan dia yang lain, soal kampanye anti rokok. Artinya juga tidak murni dia berjuang melakukan aksi yang beresiko untuk kepentingan publik yang diambil oleh pengendara Moge.
Saya tak bisa menyimpulkan analisis saya ini, saya hanya sekedar berkomentar dan berpendapat. Dan semoga, Elanto Wijoyono atau Kartolo itu membaca dan menanggapi tulisan saya ini.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H