Mohon tunggu...
Ayip bio
Ayip bio Mohon Tunggu... -

i'm traveler

Selanjutnya

Tutup

Catatan

permulaan cerita perjalanan yang arif

14 Juni 2011   22:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:30 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Angin mulai menuntun tanganku menuliskan kisah ini, walaupun menurut sebagian orang angin malam tidak baik bagi kesehatan, tapi bagiku justru membawa jutaan insprasi untuk menuangkan jutaan bahkan lebih kata-kata; walau hanya untuk sekedar berbagi rasa.

Sempat aku mengira hidup ini matematis, jadi semua dapat aku ukur dan aku rencanakan sesuai dengan rumus-rumus kehidupan seperti yang banyak dituliskan di buku-buku pengembangan diri, tentu dengan beranekaragam variabel yang digunakan, hingga aku tergiur dan jujur akau sedikit sombong setelah aku tahu. Aku yakin bahwa hidupku dapat ku tentukan hanya dengan apa yang ku tahu saat ini, dan tidak ada yang lebih tahu tentang diriku sendiri, kecuali aku dan Tuhanku.

Setelah sekian lama duduk kaku di bangku sekolah, kini aku bisa melanjutkan pendidikanku di sekolah kebebasan, di mana aku bisa belajar dengan tidur, duduk, berdiri, berlari,hingga aku terperosok jatuh di jurang di tengah hutan rimba belantara. Sebuah tawaran berwirausaha dengan modal sebatang korek api semangat dan tidak lebih dari lima lembar daun kering untuk dibakar, hingga membuat semangat ini menyala kembali.

Maklum, sebelumnya pernah jatuh hingga tidak ada sedikitpun keping-keping yang menjadi harapanku untuk merekonstruksinya kembali, naifnya, saat itu aku malah menganggap hidup ini dekonstruktif. Tidak ada yang dapat terulang kembali kedua kalinya; satu kali hidup hancur, dia tidak akan kembali, yang ada hal yang baru. Walaupun jujur harus kita akui kadang kita menemukan yang mirip di dunia ini; de javu, tetapi bagiku itu tidak lebih dari hasil acak genetika keidupan. Dimana basa nitrogennya adalah Agama (A), Ghirah/Semangat (G), Cinta (C), Tawakkal (T) yang terangkai doublehelix, diapit oleh Takdir.

Setelah manantang badai filsafat, hingga akhirnya aku terbelak kagum menikmati indahnya hidup. Banyak kenangan tempat dan persitiwa yang menyadarkan aku sebagai salah satu pewaris bumi, untuk mengelola, menjaga dan mengawetkannya. Melihat kondisi alamku kini mulai membuatku sedih teringat akan cucuku nanti. Alam yang membimbingku meraih semua ini memintaku kembali merawatnya; bahkan bukan hanya aku, tapi kita semua.

Jakarta, Surabaya dan Medan memaksaku merokok degan asap yang baunya sama sekali tidak aku suka, mengajariku bagaimana orang-orang dapat bersaing dengan ketat, dan bahkan bersikap loe-gue. Alam selalu berbisik pada kota-kota itu "dimana balas budimu padaku?” yang diirmakan dengan sejuta lagu.

Hingga pada saatnya, Hutan di Gunung Leuser, Gunung Gede Pangrango, Telaga Warna, Cikepuh, Tuanan-Palangkaraya, Kutai Kertanegara, Samarinda, Ternate, sampai Halmahera berbisik ”masih ada harapan, lestarikan kami dan kawan-kawan kami yang lain, sebelum nafaspun jadi barang jual beli”.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun