Mohon tunggu...
Ayik H. Arif
Ayik H. Arif Mohon Tunggu... wiraswasta -

Your Creative Partner

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Jangan Asal Jadi Guru!!

22 Juni 2011   04:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:17 795
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_118084" align="aligncenter" width="300" caption="Jangan Asal Jadi Guru (Gb. Google)"][/caption] Predikat guru menunjukan keprofesionalan seseorang pada bidangnya yang bukan hanya bertugas mengajar tetapi juga mendidik. Profesi ini tentu didapatkan secara instan tetapi melalui rangkaian proses penguasaan ilmu atau melalui pendidikan khusus seperti pendidikan keguruan. Sehingga, meminjam bahasa KH. Sholeh Bahruddin (pengasuh pondok pesantren Ngalah Purwosari Pasuruan) untuk menjadi guru dibutuhkan 2 (dua) syarat dasar, yaitu istiqomah (baca: konsisten) dan uswatun khasanah (tauladan yang baik). Konsisten disini diartikan sebagai penguasaan ilmu pengetahuan dan profesionalisme diri seorang guru. Sedangkan tauladan adalah skill pendidikan yang berorientasi pada moral yang baik, dengan megedepankan contoh atau tauladan sikap, sifat dan ucapan yang baik.

***

Pendidikan yang bermutu sangat tergantung pada kapasitas satuan-satuan pendidikan dalam mentranformasikan peserta didik untuk memperoleh nilai tambah, baik yang terkait dengan aspek olah pikir, rasa, hati, dan raganya. Dari sekian banyak komponen pendidikan, guru dan dosen merupakan faktor yang sangat penting dan strategis dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan disetiap satuan pendidikan. Berapa pun besarnya investasi yang ditanamkan untuk memperbaiki mutu pendidikan, tanpa kehadiran guru dan dosen yang kompeten, profesional, bermartabat, dan sejahtera dapat dipastikan tidak akan tercapai tujuan yang diharapkan (UU No.14 Thn 2005:2). Pendapat akhir pemerintah atas Rancangan UU tentang guru dan dosen yang disampaikan pada rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, cukup menjanjikan kualitas pendidikan Indonesia dengan guru-guru yang profesional, memiliki kompetensi dan disertfikasi sebagai jabatan profesi guru. Tetapi, konsep dan Undang-Undang, berbicara pada dataran ideal, tetapi realitas pendidikan yang dihadapi saat ini berbicara lain. Katakan saja, berita dari dunia pendidikan yang menggetarkan para pengguna pendidikan:

Pertama, hampir separuh dari lebih kurang 2,6 juta guru di Indonesia tidak memiliki kompetensi yang layak untuk mengajar. Katakan saja, kualifikasi dan kompetensinya tidak mencukupi untuk mengajar disekolah. Dari sini kemudian diklarifikasi lagi, guru yang tidak layak mengajar atau menjadi guru berjumlah 912.505, terdiri dari 605.217 guru SD, 167.643 guru AMP, 75.684 guru SMA, dan 63.962 guru SMK.

Kedua, tercatat 15 persen guru mengajar tidak sesuai dengan keahlian yang dipunyainya atau budangnya (Kompas, 9/12/2005). Dengan kondisi, berapa banyak peserta didik yang mengenyam pendidikan dari guru-guru tersebut? Berapa banyak yang dirugikan? (Baskoro Poedjinoegroho E: Kompas, 5/1/2006).

Ketiga, fakta lain, menunjukkan bahwa mutu guru di Indonesia masih jauh dari memadai. Berdasarkan statistik 60% guru SD, 40% guru SLTP, 43% SMA, 34% SMK dianggap belum layak untuk mengajar di jenjang masingmasing. Selain itu 17.2% guru atau setara dengan 69.477 guru mengajar bukan bidang studinya. Bila SDM guru kita, dibandingkan dengan negara-negara lain, maka kualitas SDM guru kita berada pada urutan 109 dari 179 negara berdasarkan Human Development Index (Satria Dharma: http:// suarakita. com/artikel. html). Apabila data ini valid, maka cukup mencengankan kita yang bergelut dalam dunia pendidikan selama ini.

Pekerjaan mengajar telah ditekuni orang sejak lama dan perkembangan profesi guru sejalan dengan perkembangan masyarakat (Purwanto; http: //www. pustekkom.go.id). Tetapi, data dan kondisi di atas, cukup memprihatikan kita. Mungkin kita bertanya, apa yang diperbuat selama ini dalam dunia pendidikan kita? Padahal, setiap ganti mentri, mesti ganti kebijakan dalam dunia pendidikan, tetapi kondisi dan realitas tenaga guru yang disebutkan di atas adalah merupakan suatu berita yang mencengangkan dan bencana untuk dunia pendidikan. Mungkinkah guru dapat menjadi profesional? Harus disadari kondisi guru seperti pada temuan di atas harus menjadi keprihatinan bersama. Kondisi di atas membuat kita bertanya, apakah ada sesuatu yang salah dalam sistem rekruiting guru. Siapakah mereka itu? Apakah mereka adalah para calon guru atau mereka-mereka yang sedang belajar untuk menjadi guru. Apakah mereka itu sejak semula bercita-cita menjadi guru ataukah lantaran tidak dapat masuk ke fakultas yang dicita-citakan, lantas memaksa diri untuk menjadi guru yang tidak sesuai dengan pilihannya? Apakah kegagalan mereka untuk memasuki fakultas nonkeguruan merupakan indikasi bahwa mereka tidak mempunyai kemampuan yang mencukupi? Apabila demikian, apakah mereka dapat dikatakan terdampar menjadi guru? Ini adalah persoalan serius yang dihadapi untuk mewujudkan kompetensi, sertifikasi dan profesionalisme guru.

Bukankah hampir tidak pernah terdengar tentang sebuah ciri-cita untuk menjadi guru, sekalipun dari anak guru? Apakah ini semua, ada korelasinya dengan kualifikasi, kompetensi, dan profesionalisme para guru? (Baca: Baskoro Poedjinoegroho E: Kompas, 5/1/2006).

Predikat guru yang diberikan kepada seseorang oleh pemerintah maupun masyarakat, adalah suatu predikat yang tidak semua orang bisa menyandangnya. Mereka yang mendapat predikat guru adalah orang-orang yang memiliki kemampuan pengetahuan secara alami tentang hakekat manusia dan hakekat pendidikan.

Predikat guru menunjukan keprofesionalan seseorang pada bidangnya yang bukan hanya bertugas mengajar tetapi juga mendidik. Profesi ini tentu didapatkan secara instan tetapi melalui rangkaian proses penguasaan ilmu atau melalui pendidikan khusus seperti pendidikan keguruan.

Tugas pendidikan juga tugas kemanusiaan. Manusia yang berpotensi itu dapat berkembang ke arah yang lebih baik, tetapi dapat juga berkembang ke arah yang tidak baik.

Guru sebagai pendidik harus memahami hakekat manusia, karena tugas mendidiknya mungkin dilakukan dengan benar dan tepat tujuan karena memahami hakekat manusia. Guru sebagai pendidik telah memahami secara jelas tentang manusia. Pemahaman ini akan melahirkan kemampuan kepada guru untuk menyusun peta karakteristik manusia.

Peta ini akan menjadi landasan dan acuan bagi guru dalam bersikap, menyusun strategi, metode dan teknik pembelajaran, memilih pendekatan dan membuat media pembelajaran, orientasi pembelajaran dalam merancang dan melaksanakan kegiatan pembelajran dalam pendidikan.

Untuk mengangkat harkat dan martabat suatu bangsa, pendidikan menempati urutan utama dibandingkan dengan sektor lain. Dengan pendidikan sumber daya manusia (SDM) dapat dibangun, kecerdasan bangsa dapat ditingkatkan dan kesejahteraan dapat direntangkan ke seluruh lapisan masyarakat. Dengan kata lain pendidikan adalah faktor utama dalam menguak kemajuan bangsa.

Akan halnya judul di atas, maka menurut Ulama aktifis harakah Islamiyyah, pendidikan itu haruslah mampu meliputi akal, fisik dan jasmani sekaligus. Bukankah manusia terdiri dari tiga unsur tersebut? Pendidikan yang hanya memprioritaskan aspek aqliyyah (akal an sich) saja tidak cukup. Bisa-bisa (na’uudzu billaahi dzaalika) melahirkan generasi ala cerita rakyat, malin kundang, sosok pemuda yang akhirnya ngelunjak terhadap ibu kandungnya. Kita pernah membaca di koran, ada pelajar yang membajak dan merampok para ibu di atas bis. Gejala apa ini? Belum lagi banyaknya pelajar yang membunuh pelajar dari sekolah yang lainnya.

Pendidikan yang hanya memperhatikan sisi jasmani akan melahirkan manusia-manusia ala robot yang hanya bisa diperintah ke sana ke mari, ‘gasak’ sana, sikut sini dengan tanpa melihat baik dan buruknya bagi dirinya maupun bagi orang lain atau yang lebih luas dari itu. Demi mendapatkan uang rela mengorbankan jabatan hingga merugikan Negara.

Pada akhirnya juga pendidikan yang cuma mengandalkan kesucian hati hanya akan melahirkan para “sufi” yang hanya berpuas diri pada ibadahnya tanpa banyak berbuat untuk kemaslahatan umat.

Namun secara harfiah, guru (tenaga pendidik) disebutkan dalam Undang-Undang RI nomor 14 tahun 2005, bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

Jadi, setidaknya hakikat pendidik (guru) bukanlah sekedar tenaga pengajar yang bersifat jasmani, melainkan pendidik harus meliputi secara keseluruhan dari pendidikan jasmani, akal pikiran, dan fisik sekaligus.

Tulisan lama bersemi kembali

(maklum saja, belum produksi tulisan anyar) :-)

Dapat dilihat juga di ayik.net

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun