Barangkali ini termasuk kabar buruk bagi profesi jurnalis? Apakah profesi ini akan tetap bertahan sampai 10 atau 20 tahun yang akan datang? Bisa jadi tidak, tetapi ketika kreativitas jurnalis menurun, bukan tak mungkin banyak tugasnya diambil alih oleh mesin.Â
Pekerjaan mencari informasi, mengolah, dan menyajikan kepada konsumen, sudah bukan lagi sepenuhnya hasil kerja manusia. Peran jurnalis memang tidak bisa semuanya digantikan robot, tetapi dengan kecerdasan buatan atau artificial intelligence, campur tangan manusia semakin berkurang.
Sejauh ini, hasil dari kecerdasan buatan itu hanya untuk membantu jurnalis agar lebih mudah bekerja, bisa menyajikan berita lebih cepat, dengan data yang lengkap dann akurat.Â
Pada akhirnya, robot tidak bisa mengedit berita dengan bahasa yang lebih mudah dipahami manusia. Jurnalislah yang memasukkan bahasa tersebut, menilai kualitas berita, mengajukan pertanyaan, memahami konteks, memilih diksi, editing, sampai kemudian menyetujui berita yang akan ditayangkan.
Begitulah yang terjadi ketika Los Angeles Times menjadi media yang pertama kali memberitakan gempa dangkal berkekuatan 4,7 skala Richter yang terjadi sekitar enam mil dari Beverly Hills, California. Data yang dikutip United State Geological Survey (USGS) itu, disajikan sudah menjadi sebuah berita lengkap begitu gempat terjadi dan sistem pada USGS mencatat.Â
Teks dalam bahasa Inggris tersebut disusun oleh Quakebot, sebuah sistem algoritma yang deprogram oleh jurnalis. Seperti diberitakan kembali oleh Kompas 9 September 2018, jurnalis bisa memilih untuk menyajikan berita itu, menempatkan berita itu sebagai berita utama, dan mengeditnya untuk memastikan sistem bekerja dengan benar sehingga bahasanya memenuhi standarisasi jurnalisme.
Kantor berita Reuters bahkan melangkah lebih maju dengan membangun ruang berita sibernetik atau cybernetic newsroom yang menggabungkan keunggulan mesin dan kecerdasan manusia. Mesin yang bisa bekerja dengan cepat dan tanpa lelah sehingga menghasilkan volume kerja yang tinggi, digabungkan dengan kecerdasan manusia yang memahami konteks serta nilai berita.
Ruang berita sibernatik barangkali akan menjadi tren di masa mendatang, tak terkecuali bagi media di Indonesia. Kalau wartawan di Indonesia hanya bekerja dengan mengandalkan kemampuan minimalis seperti hanya memahami 5 W + 1 H semata, akan tugasnya itu sudah tergantikan mesin.Â
Dengan keberadaan sosial media, informasi seperti itu juga bisa disajikan siapa saja meski belum memenuhi standar jurnalistik karena tidak ada keberimbangan, konfirmasi, serta mengabaikan kode etik. Dengan persaingan media yang demikian tajam belakangan ini, keberadaan ruang berita sibernetik di semua media massa merupakan sebuah keniscayaan.[]
***
