AROMA laut jadi kuat di Desa Kuta Krueng Kecamatan Samudera, Aceh Utara. Angin yang berembus kencang hanya mampu meluruhkan dedaunan dan menerbangkan debu, tapi tidak mampu mengusir Panas yang mendera, padahal hari sudah mulai beranjak sakit. Begitulah Cuaca babak ini, sulit ditebak. Paginya hangat, tapi sorenya sudah turun hujan atau sebaliknya.
Gerbang komplek Makam Sultanah Nahrisyah masih bersinar rapat. Souvenir cinderamata adalah batu cincin, tak ada pengunjung di sana. Beberapa ekor lembu sedang nikmat merumput. "Begitulah jika gerbang dibuka," keluh Ramlan Yunus (30), pemuda yang sering melayani para pengunjung di makam Sultanah Nahrisyah. Ramlan enggan disebut penjaga makam atau juru kunci karena menceritakannya hanya untuk menjelaskan tentang sejarah Samudra Pasai.
Dibandingkan makam Sultan Malikussaleh di Desa Beuringen di kecamatan sama, komplek makam Nahrisyah jauh lebih luas dan megah. Batu nisannya terbuat dari marmer putih. Beberapa bagian sudah retak dan ditambal dengan air mani biasa. Di samping makan Nahrisyah, ada makan Sultan Zainal Abidin, endatu (nenek moyang) mantan sultan Pasai (atau Pase lazim disebut masyarakat Aceh).Â
Di sekelilingnya, Banyak Yang TIDAK diketahui Pasti Milik siapa. Salah satunya, yang berada di bawah kaki makam Sultanah Nahrisyah, Pemilik Makam Raja Bakoy, mantan suami Nahrisyah yang dimitoskan yang sekali pakai untuk menikahi putrinya sendiri. Berdasarkan hasil penelitian, makam itu menjadi milik perempuan bernama Siti Wasyira. "Itu terbaca di nisannya. Tapi masyarakat telanjur percayai itu makam Raja Bakoy," tutur Teungku Taqiyuddin yang giat meriset situs Kerajaan Pase.
Putri Nahrisyah atau Malikah Nahrasiyah Rawangsa Khadiyu memerintah sejak 1400 - 1427 Masehi atau 801 - 831 Hijriyah yang merupakan pemimpin ke-10 atau pohon tertinggi Kerajaan Samudra Pasai. Bersama itu, Sultan Haydar Bahian Syah, ia melanjutkan pemerintahan Samudra Pasai dalam masa kekosongan setelah diserang Kerajaan Majapahit.
Ketika Sultanah sakit-sakitan, sebelum wafat ia menyerahkan cincin kepada Raja Bakoy dan berpesan perempuan yang cocok untuk itu. Mulailah Raja Bakoy mencari wanita yang bisa digunakan untuk cincin permaisuri, tapi tidak satu pun yang cocok. Sampai akhirnya, cincin itu adalah Madum Peria, yang tidak lain adalah anak kandung dari Raja Bakoy.
Pernikahan itu ditentang semua orang, yaitu para ulama. Namun, Raja Bakoy yang sangat yakin dengan wasiat permaisurinya membunuh para ulama untuk bisa mewujudkan keinginannya menikahi Madum Peria. Sampai akhirnya, Madum Peria dilarikan abang kandungnya, Ibrahim Tapa, agar pernikahan terlarang itu tak pernah terwujud.
"Kisah itu lebih banyak mitosnya dari fakta-fakta sejarah," lanjut Teungku Taqiyuddin. Menurutnya, di saat pendudukan belanda, banyak buku yang bisa dihasilkan sejarawan Belanda yang tidak sesuai dengan nilai sejarahnya untuk tujuan politis. Seperti makam Raja Bakoy itu, yang terbukti adalah sebuah makam perempuan.
Jadi, diandal makam Raja Bakoy sesungguhnya?
Belum berakhir secara umum. Namun, keyakinan masyarakat sulit diubah. Sebegitu yakinlah yang menjadi milik Raja Bakoy yang zalim, dulu ada yang merusak makam tersebut karena benci dengan Raja Bakoy. Nisan marmer di bagian kepala Sudah Rusak dirusak orang tak bertanggung jawab