Mohon tunggu...
Ayi Abdurahman Sayani
Ayi Abdurahman Sayani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Akademisi

Pemikir bebas; peneliti hukum; komentator politik, olahraga, musik, fisafat, agama. No debat. Ribut secukupnya aja.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Orientasi yang Rapuh

14 April 2024   21:42 Diperbarui: 9 Juni 2024   23:37 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poto ini diambil di Cisarua Bogor

Nabi Sulaiman kaya raya.  Itu bukti bahwa ia tidak mengabaikan alam materi. Cuma, ia tidak terhenti di situ.  Gemerlap materi sedikitpun tidak masuk ke dalam batinnya.  Fisik Sulaiman ibarat akar; menghujam ke dasar bumi, sementara batinnya menjulang tinggi hingga ke atap langit.  Allah berfirman dalam surat Ibrahim ayat 24:
 الم تر كيف ضرب الله مثلا كلمة طيبة كشجرة طيبة اصلها ثابت وفرعها فى السماء
"Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit"

Sementara sebagian besar kita total hidup dalam alam materi. Tidak pernah bergeser naik kelas. Pikiran, hati, nurani, intuisi, jiwa, alam bawah sadar, semua terpusat pada orientasi materi.  Betapa rendahnya kita.  Betapa dungunya kita. Kedunguan di atas kedunguan. Padahal manusia didaulat sebagai makhluk terbaik, bukan karena fisiknya. Tapi ruhaninya. Ingat apa kata  Tielhard De Cahrdin: "manusia bukan makhluk fisik yang punya pengalaman spiritual, tapi manusia adalah makhluk spiritual yang punya pengalaman fisik". Mbok naik kelas dikit lah. Jika tetap di situ, maka kita akan jadi makhluk yang rapuh. Tidak lebih tangguh dari sarang laba-laba. Jika orientasi kita hanya berkutat pada makan, minum, kawin, berkembang-biak, lalu apa bedanya dengan kambing?


Penulis tertegun membaca surat Al Anbiya ayat 103:

لا يحزنهم الفزع الاكبر وتتلقىهم الملائكة
"Kejutan yang dahsyat tidak membuat mereka sedih/gentar; dan para malaikat akan menyambut mereka".


Ayat ini bicara soal ketangguhan spiritual orang yang sudah selesai dengan dirinya. Bergeser dari sesuatu yang materialis ke arah yang baqa. Ia tangguh di semua medan. Tidak kagetan. Cuaca boleh berubah-ubah, tapi tarikan nafasnya tetap sama. Mungkin dia mengalami twistplot atau tikungan-tikungan tajam kehidupan.  Tapi dia biasa-biasa saja.  Dia tidak mengenal istilah post power syndrome ataupun yang lainnya. Baginya, dunia ini datar.

Yang kedua ini adalah kebalikan dari contoh pertama di atas.  Jika mereka yang menyandarkan kebahagiannya pada sesuatu yang bersifat materi saja, siap-siaplah mengalami instabilitas ruhani; gonjang-ganjing dalam suasana batin yang terus berubah-ubah, terombang-ambing dalam kesemuan, maka orang yang sudah naik kelas ke level yang lebih "abstrak", dia akan menemukan kebahagian yang sesungguhnya. Kokoh. Dan itu soal rasa.  Sulit untuk dibahasakan.

Bogor, 14 April 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun