Mohon tunggu...
Ayi Abdurahman Sayani
Ayi Abdurahman Sayani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Akademisi

Pemikir bebas; peneliti hukum; komentator politik, olahraga, musik, fisafat, agama. No debat. Ribut secukupnya aja.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Game Terkunci

13 Februari 2024   16:27 Diperbarui: 10 Juni 2024   06:54 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.okeline.com/berita-6784-peneliti-ungkap-bermain-

Dalam permainan catur, para pemain yang bertarung akan berupaya membuat langkah pembukaan atau opening game sebagus mungkin. Mengapa? karena jika pembukaannya bagus, posisioningnya akan bagus. Setelah unggul posisioning, dengan mudah ia akan menghabisi lawan. Ibarat dalam sebuah pertempuran, Anda berada di atas bukit. Musuh datang dari bawah. Maka Anda dapat menghabisinya sambil ngopi. Tanpa keluar keringat banyak.

Demikian pula situasi ini nampak jelas dalam kontestasi Pilpres 2024. Pada mulanya, sebelum game dimulai, ketiga kandidat; Anies, Prabowo, dan Ganjar memiliki posisi elektoral yang relatif berimbang. Unpredictable. Yakni tatkala Jokowi berada di belakang Ganjar. Namun kemudian Prabowo membuat langkah pembukaan yang fenomal dan kontroversial: menculik Gibran. Seketika peta elektoral berubah secara radikal. "Jama'ah" Ganjar bermigrasi besar-besaran ke kubu Prabowo. Meminjam bahasa Al-Qur'an: waro'aitannaas yadkhuluna fii diinillah afwaja; Berbondong-bondong. Celakanya, eksodus ini tidak hanya terjadi sesaat saja, tapi terus menurus secara konsisten, dari Oktober hingga hari pencoblosan. Demikian info yang penulis serap dari para surveior yang "muktabar".

Dari aspek hukum, langkah pembukaan Prabowo ini debatable. Banyak ahli hukum yang mengkritik. Tapi tak kurang pula yang membela. Dari aspek hukum ini, kita bisa berdebat tujuh hari tujuh malam. Kedua kubu, baik yang pro maupun kontra, sama-sama memiliki argumentasi yang kokoh. Namun jika Anda pernah belajar fikih di pesantren, Anda akan bertemu kaidah: "hukmul hakim yarfa'ul khilaf". Putusan hakim mengakhiri perselisihan pendapat. Walhasil, ya sudah kita terima putusan tersebut secara dewasa.

Logika politik itu berbeda dengan logika hukum. Jika hukum itu bersifat normatif, maka cara berpikir politik kadang di luar nurul. Out side of the box.

Langkah Prabowo yang "menganeksasi" Gibran dari PDIP memang beresiko tinggi. Bisa dibilang perjudian. Banyak pengamat yang  sanksi atas langkah tersebut. Boleh jadi, ini adalah langkah bunuh diri buat Prabowo, mengingat luapan kemarahan publik yang luar biasa. Ada resistensi yang muncul di mana-mana. Namun Prabowo adalah seorang jenderal yang punya naluri dan intelejensi  tinggi.  Terbukti waktu berlalu. Badai kontroversi tersebut nyatanya tidak signifikan. Semua baik-baik saja. Meminjam istilah  Pramoedya Ananta Toer: "badai dalam secangkir kopi". Alih-alih elektabilitas Prabowo nyungsep, malah meroket tinggi. Tinggi setinggi-tingginya. Bahkan konon per-hari ini, kandang banteng: Jawa Tengah telah dicaplok oleh 02. Pilpres pun mengarah pada satu putaran.

Ada sementara orang yang berasumsi: jika terjadi dua putaran, maka 01 dan 03 akan berkoalisi. Bahu membahu keroyok 02. Mereka termotivasi atas pengalaman Pilkada DKI 2017 lalu. Anies yang kala itu menduduki peringkat dua di putaran pertama, berkoalisi dengan AHY, lalu menang di putaran kedua. Hemat penulis ini adalah romantisasi masa lalu. Keadaan telah berubah. Siyaqul kalam atau konteks hari ini jauh berbeda dengan Pilkada DKI. Kubu 01 dan 03 memiliki basis ideologis yang sangat berbeda. Bertolak belakang habis-habisan. 01 adalah refresentasi Islam fundamentalis yang kanan. Sementara 03 adalah refresentasi kelompok nasionalis yang sangat kiri (untuk tidak mengatakan ekstrim kiri). So, mungkinkah PDIP koalisi dengan PKS? Jika para elit dari kedua kubu memaksakan koalisi, seberapa efektifkah diterima dan menetes ke kader di bawah? Mungkinkah kader PKS coblos Ganjar? atau kader PDIP coblos Anies? kemungkinannya sangat kecil. Yang ada, Prabowo lebih dekat ke kiri maupun ke kanan. 

Simalakama. Serba salah. Itulah kata yang cocok untuk menggambarkan lawan tanding Prabowo hari-hari ini, khususnya 03. Nyerang, salah. Diam, salah. Menyerah pun malu. Maka jalan keluarnya: ngomel-ngomel. Meminjam peribasa Sunda: Amek nyedek, tanaga midek. Dilemparkanlah propaganda; dari persoalan netralitas hingga kecurangan. Padahal jika temanya adalah kecurangan dan netralitas, Pilpres 2019 jauh lebih potensial curang. Dan PDIP waktu itu diam saja. Artinya, ini soal posisioning saja.

Walhasil, hasil akhir Pilpres tahun ini mudah untuk ditebak. Bahkan oleh analis politik level beginner. Prabowo telah melakukan langkah pembukaan yang fantastis. Babak tengahpun telah dilalui secara gemilang. Dia memasuki babak akhir dengan tenang penuh suka cita. Asal tidak ada blunder fatal: game telah terkunci. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun