Terlalu lama aku menanti. Ia tak menolehku sama sekali. Di saat seharusnya penantian ini berakhir, ia telah termiliki. Ia telah termiliki, tetapi bukan olehku. Entahlah, padahal dulu ia memintaku agar menunggunya, selama tiga tahun, sampai saat ini, ia memintaku untuk setia menantinya.
Aku ingat, sangat ingat. Ia adalah seorang gadis yang kutahu sangat mencintaiku. Begitu juga aku yang sangat mencintainya. Saat aku melamarnya dulu, ia sangat senang sekali. Cintanya terlihat begitu jelas menatap jiwaku. Ia memutuskan bahwa tiga tahun lagi, setelah ia lulus kuliah, kami akan menikah. Dan kini, sampai saat ini penantianku masih berjalan tiada henti. Meski yang dinanti telah bersemi di hati yang lain, aku masih menantinya. Aku menantinya.
“Fa’is… ini sudah malam. Kamu belum tidur?” tanya ibuku, melihatku tengah duduk di sudut teras dapur.
“Fa’is belum ngantuk, Bu.”
“Sudahlah, Nak, apa kamu mau terus seperti ini? Relakan dia. Ikhlaskan dia, Nak. Dia sudah menikah dan ini semua adalah takdir yang harus kamu terima. Engkau harus kuat, Nak!”
Ibuku memang sudah mengetahui semua tentang Evita, kekasihku. Tentang aku yang sangat mencintainya dan penantian atas lamaran itu, ibu sudah mngetahuinya. Ibu pun sangat memahami aku.
“Sabarlah, Nak. Ini semua adalah keputusan terbaik yang diberikan Tuhan, dan kamu harus tahu bahwa jodoh, kematian, dan rizki itu sudah ditetapkan-Nya. Tidak ada yang dapat melawan takdir, siapapun itu, kecuali memang Tuhan yang menghendakinya. Tidak lama lagi engkau akan menikah dengan seorang gadis cantik, baik, dan sangat menyayangimu, Nak. Kamu akan sembuh! Kamu harus sembuh!” kata Ibuku. Ia terus menasehatiku, menghiburku.
Ia terus berusaha untuk menenangkanku. Aku hanya tersenyum kecil, menatap wajah ibu yang juga tersenyum sendu menatapku.
“Benarkah, Bu?” kataku setengah girang.
“Nak…” Suaranya bergetar memanggilku.
Ia memelukku dengan erat, erat sekali. Lalu ia menciumku. Di keningku, kurasakan air matanya mengalir.
“Engkau tidak pantas seperti ini, Nak. Ayahmu juga akan menangis jika melihatmu seperti ini. Sadarlah, Nak, sadar! Engkau harus sembuh! Engkau harus sembuh, Nak!”
Mataku kosong menerawang.
Ibuku sakit, perih melihatku. Hatinya pedih menyaksikan jiwaku yang sakit.
Karawang, 30 Agustus 2010.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H