Dalam minggu ini ruang publik kita lumayan bising atas kebijakan bapak mendikbud yang baru dilantik. Yang rame dengan istilah Full Day Scool (FDS). Anak menjadikan sekolah sebagai rumah kedua. Pertimbangan kebijakan ini sebenarnya rada bagus. Untuk yang menyetujui kebijakan ini. Intinya anak akan tetep pada lingkungan yang aman.
Karena kelas menengah baru kita biasanya kedua orang tua full kerja dan sampai rumah cukup sore. Bila anak pulang duluan berakibat pada pengawasan anak yang kurang, karena khawatir bahaya pergaulan.
Sebenarnya selama ini kebijakan ini juga sudah berjalan. Anakku berseolah di SMP Negeri I Metro. Pulang sekita pukul 15.00 /16.00. yang dilakukan di sekolah biasanya kerja kelompok atau kegiatan ekstrakulikuler. Harusnya kegiatan ini tidak perlu untuk di perdebatkan toh nyatanya sudah berjalan.
Justru saya merasa kebijakan pak Menteri perlu menyentuh akar persoalan pendidikan kita . Saya merasa kebijakan Pak Mendikbud hanya untuk anak anak yang sudah bersekolah dan anak anak yang betah tinggal di lingkungan sekolah.
Lantas bagaimana dengan anak-anak belum memasuki dunia pendidikan? Jika kita melihat data BPS tahun 2014. Jumlah siswa Sekolah Dasar 26.504.160, sedang jumlah siswa SMP sebesar 9.715.203. artinya apa?. Ada sejumlah 16.788.957 anak yang tidak melanjutkan ke jenjang sekolah Menengah Pertama. Data ini baru yang berada di bawah kemendikbud. Jika ini di tambah dengan data putus sekolah tingkat SMP tahun 2015 yang sebesar 51.541(pusat data statistik kemendikbud 2016) maka jumlahnya 16.840.498 anak.
Lantas apa yang di lakukan anak anak yang tidak melanjutkan sekolah dan putus sekolah? Anak anak yang tidak melanjutkan dan belum berkesempatan mengenyampendidikan ini musti terpaksa memasuki dunia kerja. Mereka ini tidak terpenihi hak untuk mendapatkan pendidikan.
Banyak alasan kenapa mereka tidak melanjutkan kejentang selanjutnya. Diantaranya karena faktor ekonomi, jarak tempuh sekolah yang cukup jauh. Karena biasanya SMP berada di ibukota kecamatan.
Pak Mendikbud, kerena mereka tidak beresekolah, terpaksa menjadi pekerja anak. Yang di daerah perkotaan menjadi pengament, pengemis, pengasong menjadi pekerja rumah tangga. Ada yang lebih miris mereka menjadi korban Trafiking untuk hiburan dan sex komersial . Yang berada di daerah perdesaan menjadi pekerjaan di sektor perkebunan, pertambangan dan pertanian.
Sebenarnya pemerintah selama ini juga tidak tinggal diaam. Banyak program di luncurkan. Program program yang ada tidak cukup menyentuh akar permasalahan. Hanya sekedar memadamkan kebakaran. Tetapi subtansi persoalan tidak pernah di sentuh untuk di selelsaikan.
Program PPA-PKH selama 8 tahun terahir ini hanya menjangkau 80 ribuan. Program ini belumlah menyentuh akar masalah karena hanya seperti aspirin saja. Namun akar permasalahan tidak pernah di selelsaikan.
Saya berharap Pak Mendikbud tidak hanya berkonsentrasi pada anak anak yang sudah bersekolah. Kita menunggu kebijakan pakmenteri yang cukup fundamental untuk dapat memberi kesempatan seluas luasnya kepada anak anak yang belum memiliki kesempatan mengenyam pendidikan.